Bisnis.com, BANDUNG — Persatuan Pengusaha Unggas Nasional (PPUI) menilai pengurangan day old chick (DOC) sebesar 15% oleh pemerintah diprediksi tidak akan berlangsung lama.
PPUI beranggapan pengurangan ini hanya diakses oleh kemitraan peternak rakyat bersama penanam modal asing (PMA) sehingga diprediksi bukan untuk jangka panjang.
Ketua PPUI Ashwin Pulungan beralasan pengurangan DOC sementara ini lantaran mayoritas industri perunggasan telah dimiliki PMA, sementara peternak rakyat hanya jadi mitra untuk mengurus DOC tersebut.
“Kami yakin kebijakan ini akan kembali berubah dalam jangka pendek, karena peternak rakyat saat ini sudah habis disingkirkan PMA. Yang ada sekarang hanya peternak bermitra dengan mereka,” katanya kepada Bisnis, Minggu (4/5/2014).
Ashwin menjelaskan kebijakan tersebut semestinya dapat dinikmati peternak rakyat sepenuhnya, namun kondisi yang buruk yang terjadi sebelumnya, membuat peternak banyak yang merugi.
Padahal, pengurangan DOC dapat mendongkrak pendapatan peternak rakyat, apabika dilakukan pada saat depresiasi rupiah terhadap dolar Amerika Serikat.
“Pemerintah terlambat menetapkan kebijakan ini, mereka hanya peduli dengan PMA tanpa memikirkan keberadaan peternak rakyat yang jauh lebih besar bisa menyumbang pendapatan bagi negara,” ungkapnya.
Ashwin mendesak pemerintah berani mengembalikan Undang-Undang No.18/2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan ke UU No.6/1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Peternakan dan Kesehatan Hewan.
Menurutnya, UU yang ada saat ini lebih mengutamakan investasi padat modal yang terintegrasi, namun UU yang dulu mengutamakan investasi padat karya. “Jika dulu undang-undang benar diberlakukan untuk usaha peternakan yang berbasis kerakyatan,” ujarnya.
Pihaknya juga mendesak pengawasan ketat terhadap pelaku usaha perunggasan saat digulirkannya Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) 2015, sehingga integritas para pengusaha perlu dibina agar mampu bersaing.
“Pemerintah jangan hanya memperhatikan kepentingan asing, tapi harus mengedepankan integritas pelaku usaha perunggasan,” tegasnya.
Selain itu, guna memuluskan penghentian impor jagung bagi pakan ternak, pemerintah harus menggenjot produksi jagung nasional dengan melibatkan berbagai pihak. Hal itu, untuk memutus mata rantai impor jagung dengan menggalakkan gerakan menanam palawija dan jagung (Palagung) seperti pada tahun 2000-an.
Apabila pemerintah saat ini menggulirkan program serupa, harus menjalin komitmen kuat dengan industri pakan untuk membeli hasil produksi jagung dari masyarakat.
“Indonesia harus terlepas dari ketergantungan impor jagung untuk pakan ternak. Kontribusi jagung mencapai 70%, sehingga menentukan harga ayam," jelasnya.