Bisnis.com, JAKARTA - Pemerintah mendatang dinilai perlu mengidentifikasi kembali angka produksi dan kebutuhan di sektor pertanian untuk kedaulatan pangan. Hal ini perlu dilakukan untuk memutuskan kebijakan impor dan subsidi yang tepat.
"Perlu identifikasi kembali. Time to time. Kapan petani kita memproduksi, dihasilkan berapa. Kemudian, yang real demand-nya berapa, termasuk industri," ujar Direktur Perbenihan Direktorat Jenderal Tanaman Pangan Kementerian Pertanian Bambang Budhianto saat ditemui Bisnis.com pada Rabu (8/10/2014).
Menurut Bambang, keluhan masyarakat akan kurangnya akurasi data pertanian dapat disebabkan mekanisme pendataan yang belum menyeluruh. Hal tersebut menyebabkan pembuatan kebijakan di sektor pertanian yang belum tepat.
"Harus dilakukan adjustment. Setelah semuanya ditata baru dapat ditentukan kita sebenarnya butuh impor atau tidak. Kalau produksi dalam negeri kurang ya harus impor," ujarnya.
Berdasarkan data BPS yang diolah oleh Kementerian Pertanian pada semester I, impor beras sudah dilakukan sebanyak 152 ribu ton atau 0,35% dari total ketersediaan beras. Kemudian, impor jagung sebanyak 1,45 juta ton atau 7,27% dari total ketersediaan jagung. Lalu, ketersediaan kedelai sebanyak 59,29% dipenuhi lewat impor atau sebesar 1,3 juta ton.
Selain itu, Bambang juga menilai kebijakan subsidi di sektor pertanian kurang tepat. Dia mencontohkan subsidi pupuk yang justru dikeluhkan oleh para pengusaha.
Menurutnya, para pengusaha yang melaksanakan pembuatan pupuk ini justru memperoleh bahan baku lain dengan harga yang tinggi. Bambang mengatakan subsidi ini dapat dialihkan ke hal lain, seperti kemudahan petani untuk memperoleh biaya produksi yang murah.
"Yang didorong sama WTO itu blue box. Itu subsidi untuk riset, infrastruktur. Alihkan saja ke infrastruktur. Infrastruktur bagus, tranportasi murah, barang input datang ke desa, petani bisa beli. Di bawa ke pasar harganya bagus," ujarnya.