Bisnis.com, JAKARTA - Pemerintah mengklaim terus mendorong pembangunan proyek pembangkit listrik ramah lingkungan guna mencapai target pengurangan emisi gas rumah kaca atau GRK dari sektor energi.
Sehubungan dengan itu, pemeritah akan terus mendorong pembangunan sejumlah proyek pembangkit listrik berbasis energi baru dan terbarukan (EBT) seperti tenaga air (PLTA) dan biomassa (PLTBm).
“Saat ini bauran energi pembangkit listrik memang masih didominasi batu bara yang boros emisi GRK,” kata Direktur Teknik dan Lingkungan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Munir Ahmad dalam diskusi Pojok Iklim di kantor Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, seperti dikutip dari keterangan pers, Rabu (15/8/2018).
Bauran energi pembangkitan listrik pada 2017 lalu mencatat bahwa kontribusi EBT baru sebesar 12,52%. Dalam Rencana Umum Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2018--2027, kontribusi EBT dalam bauran energi pembangkitan tenaga listrik ditarget naik mencapai 23% pada 2025.
Menurut Munir, PLTA khususnya yang bertipe peaker bisa dikembangkan untuk memenuhi kebutuhan listik dan meminimalkan penggunaan pembangkit berbahan bakar minyak (BBM) pada saat beban puncak.
Salah satu PLTA tipe peaker yang sedang dikembangkan adalah PLTA Batang Toru di Tapanuli Selatan yang berkapasitas 4x127,5 MW.
PLTA Batang Toru akan memanfaatkan kolam penampung yang tidak luas sehingga tidak akan mengubah bentang alam dan berdampak minimal pada ekosistem yang ada di sekitarnya.
Munir menambahkan, pembangkit listrik berbasis batu bara memang masih akan dimanfaatkan tetapi harus menerapkan teknologi batu bara bersih yang lebih rendah emisi GRK, terutama pada pembangkit yang sudah mapan seperti di Jawa-Bali. “Ke depan, pembangkit batu bara berteknologi lama tidak boleh lagi beroperasi,” katanya.
Sebelumnya, pada konferensi perubahan iklim di Paris, Prancis pada 2015, Presiden Joko Widodo telah menyatakan komitmennya untuk mengurangi emisi GRK sebanyak 29% dengan upaya sendiri atau 41% dengan dukungan Internasional.
Komitmen itu dituangkan dalam dokumen Kontribusi Nasional yang Diniatkan (Nationally Determined Contributions/NDC) yang menjadi bagian dari traktat pengendalian perubahan iklim global, Persetujuan Paris. Dari target sebanyak 29% tersebut, sektor energi berkontribusi sebesar 11%.
Direktur Inventarisasi GRK dan Pengukuran, Pelaporan dan Verifikasi (MRV) KLHK Joko Prihatno mengungkapkan, hasil inventarisasi GRK nasional menunjukkan Indonesia telah berhasil menurunkan emisi GRK sebesar 8,7% pada 2016 dari target penurunan emisi sebesar 29% pada 2030, berdasarkan Business As Usual (BAU) sesuai dokumen NDC.
Pada 2016, BAU emisi GRK adalah sebesar 1.764,6 juta ton setara karbondioksida (CO2e). Namun, aksi mitigasi perubahan iklim yang telah dilakukan Indonesia berhasil menahan pelepasan emisi GRK, sehingga hanya sebanyak 1.514,9 juta ton CO2e.
“Emisi GRK yang berhasil diturunkan sebanyak 249,8 juta ton CO2e. Jadi Indonesia berhasil menurunkan emisi GRK sebesar 8,7% dari emisi BAU pada 2030 yang sebanyak 2.869 juta ton CO2e,” katanya.
Untuk sektor energi, dari BAU emisi GRK sebanyak 712,26 juta ton CO2e, berhasil diturunkan sebanyak 93,68 juta ton CO2e atau telah berhasil berkontribusi sebesar 3,28% terhadap total emisi BAU pada 2030 yang sebanyak 2.869 juta ton CO2e.
Target kontribusi penurunan emisi GRK pada BAU pada 2030 yang sebanyak 2.869 juta ton CO2e adalah 11% atau 314 juta ton .