Pada praktiknya, lanjut Saut, mungkin PLB lebih dimanfaatkan untuk wilayah laluan dengan kegiatan utama inventori atau konsolidasi barang para importir, ketimbang operasi dan aktivitas bisnis dari industri atau kawasan terkait dengan PLB.
Selain itu, kata dia, fenomena itu juga terjadi karena kolaborasi antarentitas bisnis yang memanfaatkan PLB cenderung lemah, juga daya tawar pelaku bisnis dalam negeri yang lemah, sehingga banyak PLB yang lebih berfungsi sebagai area pabean saja agar pebisnis mendapatkan fasilitas nihilnya atau minimnya bea impor.
Selain itu, faktor lainnya akibat dari masih rendahnya kegiatan atau operasi logistik, seperti transportasi, distribusi dan konsolidasi. Oleh karena itu, menurutnya, yang cukup dominan adalah banyak PLB menjadi kawasan pergudangan atau poin penumpukan.
Hal lainnya, banyak juga wilayah yang ditetapkan sebagai PLB memiliki keterbatasan terkait dengan fasilitas dan dukungan logistik. Dengan demikian, realisasi bisnis yang efisien tidak terpenuhi, khususnya dalam menekan biaya logistik.
Oleh sebab itu, pihaknya sependapat bahwa keberadaan PLB yang hanya menjadi solusi untuk menekan dwelling time justru menimbulkan masalah baru, karena untuk sejumlah wilayah incoming atau inbound logistics yang dominan, khususnya di Jawa, ada tren seperti itu.
Apalagi, lanjutnya, ada batasan wilayah penumpukan di berbagai terminal kontainer di Jawa yang menuntut waktu dwelling time kurang dari 4 hari. Akhirnya, kontainer dialihkan ke PLB terdekat untuk menuntaskan proses preclearance.
“Jadi, ini hanya untuk memenuhi persyaratan pengalihan wilayah kepabeanan dan biaya bea impor. Namun, kegiatan atau bisnis logistiknya cenderung rendah,” tegasnya.