Bisnis.com, JAKARTA - Gangguan tatanan ekonomi global yang disulut oleh langkah agresif AS mencapai puncaknya pada Selasa (10/12/2019), ketika Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) kehilangan kemampuannya untuk campur tangan dalam perang dagang, mengancam masa depan badan yang bermarkas di Jenewa itu.
Dilansir melalui Reuters, Amerika Serikat akhirnya akan melumpuhkan Badan Banding WTO, yang bertindak sebagai mahkamah agung untuk perdagangan internasional dan mencabut wewenang untuk mengeluarkan putusan.
Sengketa perdagangan utama, termasuk konflik AS dengan China dan tarif logam yang diberlakukan oleh Presiden AS Donald Trump, kini tidak akan diselesaikan oleh wasit perdagangan global.
Stephen Vaughn, yang menjabat sebagai penasihat umum Perwakilan Dagang AS selama 2 tahun pertama masa kepresidenan Trump, mengatakan banyak perselisihan akan diselesaikan di masa depan melalui negosiasi.
Para kritikus mengatakan ini berarti kembalinya ke periode pascaperang dagang dengan penyelesaian yang tidak konsisten, ini merupakan alasan WTO dibentuk pada 1995.
"Kelumpuhan Badan Banding meningkatkan risiko terciptanya sistem hubungan ekonomi yang didasarkan pada kekuasaan daripada aturan," ujar Duta Besar Uni Eropa untuk WTO mengatakan kepada rekan-rekannya di Jenewa, dikutip melalui Reuters, Selasa (10/12/2019).
Ditariknya wewenang ini bersamaan dengan upaya WTO dalam peran utama lainnya untuk membuka akses pasar.
Klub WTO yang beranggotakan 164 negara itu belum menghasilkan kesepakatan internasional apapun sejak negosiasi "Doha Round" pada 2015 diabaikan.
Langkah-langkah pembatasan perdagangan di antara kelompok ekonomi terbesar G20 berada pada titik tertinggi dalam sejarah, ditambah dengan agenda "America First" Trump dan perang dagang dengan China.
Phil Hogan, Komisaris Perdagangan Uni Eropa, mengatakan pada pekan lalu bahwa keberadaan WTO tidak lagi sesuai dengan tujuan awalnya dan sangat membutuhkan reformasi yang lebih dari sekadar memperbaiki mekanisme banding.
Untuk negara maju, khususnya, aturan WTO harus berubah untuk memperhitungkan perusahaan yang dikendalikan negara.
Pada 2017, Jepang menyatukan Amerika Serikat dan Uni Eropa dalam upaya bersama untuk menetapkan aturan global baru tentang subsidi negara dan transfer teknologi secara paksa.
AS juga mendorong untuk membatasi kemampuan anggota WTO untuk memberikan status negara berkembang, yang memberi mereka waktu lebih lama untuk mengimplementasikan perjanjian WTO.
Singapura merupakan salah satu negara berkembang yang dimaksud meskipun fokus AS ada pada China.
Sekretaris Perdagangan AS Wilbur Ross mengatakan bahwa Amerika Serikat ingin mengakhiri konsesi, yang membebani ekonomi dan sudah tidak lagi sesuai.
"Kami telah memanjakan negara-negara itu untuk waktu yang sangat, sangat lama, jadi tentu saja mereka menyerang balik ketika kami mencoba mengubah banyak hal," katanya.
Masalahnya dengan reformasi WTO adalah bahwa perubahan memerlukan persetujuan dengan suara bulat untuk dilaksanakan. Itu termasuk dukungan dari China.
Beijing telah menerbitkan proposal reformasi sendiri dengan serangkaian keluhan terhadap tindakan AS.
Reformasi harus menyelesaikan masalah-masalah penting yang mengancam keberadaan WTO, sambil menjaga kepentingan negara-negara berkembang.