Bisnis.com, JAKARTA — Menyusul revisi prospek utang Indonesia oleh lembaga pemeringkat Standard and Poor's (S&P) menjadi negatif, Bank Indonesia menyampaikan sejumlah indikasi perekonomian Indonesia bakal membaik dalam waktu yang tidak lama.
Pada Jumat (17/4/2020), S&P menyampaikan telah merevisi outlook utang jangka panjang Indonesia menjadi negatif dari sebelumnya stabil. Kendati demikian, peringkat utang jangka panjang Indonesia dipertahankan di BBB dan AAA untuk utang jangka pendek.
Dalam keterangan resminya, Jumat (17/4), Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo memaparkan indikasi perekonomian Indonesia bakal kembali ke trajectory yang lebih berkelanjutan terlihat pada hasil asesmen terkini BI usai Rapat Dewan Gubernur (RDG) 13-14 April 2020.
"Outlook negatif ini diyakini bukan cerminan dari permasalahan ekonomi yang bersifat fundamental, tetapi lebih dipicu oleh kekhawatiran S&P terhadap risiko pemburukan risiko kondisi eksternal dan fiskal akibat pandemi Covid-19 yang bersifat temporer," paparnya.
Dari sisi pertumbuhan ekonomi, dampak negatif kontraksi ekonomi global dan upaya pencegahan penyebaran Covid-19 diproyeksi terjadi terutama pada kuartal II/2020 dan kuartal III/2020, sebelum membaik pada kuartal IV/2020. Pertumbuhan ekonomi akan melambat menjadi 2,3 persen pada 2020 dan meningkat pada tahun depan.
Dari sisi eksternal, berkurangnya kebutuhan impor barang dan jasa transportasi serta pembayaran imbal hasil investasi akan memangkas defisit transaksi berjalan. Dengan demikian, Neraca Pembayaran Indonesia (NPI) 2020 diproyeksi tetap baik sehingga dapat memperkuat ketahanan sektor eksternal.
Kemudian, cadangan devisa (cadev) pada akhir April 2020 diyakini meningkat sehingga dapat menambah penguatan ketahanan sektor eksternal. Per Maret 2020, cadev Indonesia tercatat senilai US$121 miliar atau setara pembayaran 7 bulan impor dan kewajiban utang luar negeri pemerintah.
Kondisi ini akan berdampak positif terhadap nilai tukar rupiah, yang diperkirakan menguat ke level Rp15.000 per dolar AS pada akhir 2020. Adapun inflasi diprediksi dalam kisaran sasaran 3 persen plus minus 1 persen pada tahun ini dan 2021.
Di sektor keuangan, rasio kecukupan modal (Capital Adequacy Ratio/CAR) perbankan Februari 2020 tetap tinggi, yakni di posisi 22,27 persen. Hal ini didukung rasio kredit bermasalah (Non Performing Loan/NPL) yang rendah, yaitu 2,79 persen gross dan 1,04 persen net.
Bank sentral juga mengemukakan kepercayaan investor internasional berangsur pulih seperti ditunjukkan oleh keberhasilan pemerintah menerbitkan obligasi global dengan nilai besar dan harga wajar pada April 2020, di tengah kondisi yang masih dipenuhi ketidakpastian.
Secara khusus, S&P menyoroti peran BI dalam mendukung upaya mempertahankan pertumbuhan ekonomi dan meredakan guncangan ekonomi serta keuangan. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2020 memberikan kewenangan kepada BI untuk membeli surat berharga pemerintah di pasar perdana apabila permintaan pasar dinilai tidak memadai.
BI menuturkan hal ini dapat membantu pemerintah dalam mengelola biaya pinjaman ketika pasar keuangan sedang mengalami gangguan ekstrim. Kebijakan yang sama juga disebut diterapkan oleh sejumlah negara maju sejak krisis 2008.
Lantaran kewenangan ini hanya digunakan saat situasi pasar keuangan sedang tertekan, bank sentral menegaskan dampaknya terhadap inflasi dan nilai tukar relatif terkendali.
Sebelumnya, S&P menyatakan ada sejumlah risiko yang dihadapi oleh Indonesia sehubungan wabah virus corona.
"Outlook negatif mencerminkan ekspektasi kami bahwa Indonesia menghadapi risiko fiskal dan eksternal tambahan terkait dengan pandemi Covid-19 dalam 24 bulan ke depan," terang S&P, Jumat (17/4).
S&P mengemukakan langkah-langkah fiskal yang berani dari Pemerintah Indonesia akan membantu menstabilkan ekonomi dan mendukung respons kesehatan masyarakat yang lebih kuat.
Tetapi, hal itu akan menambah jumlah utang publik. Padahal, posisi utang luar negeri Indonesia telah melemah setelah rupiah terdepresiasi cukup dalam.