Bisnis.com, JAKARTA – Aksi pungli dan premanisme yang belakangan menjadi sorotan di Pelabuhan Tanjung Priok menimbulkan persoalan tambahan bagi biaya logistik Indonesia yang selama ini dikenal tak kompetitif.
Pengamat Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia Ibrahim K Rohman mengatakan dampak ekonomi aksi premanisme dan pungutan liar tak hanya memunculkan tambahan biaya yang dikeluarkan di pelabuhan tetapi juga berimbas terhadap memburuknya keseluruhan sistem logistik.
Sistem logistik yang dimaksud antara lain dari sisi opportunity cost, kemudian memperlambat proses bongkar muat ,dan dampak lain yang menjadi efek domino dari pungutan liar tersebut.
Dia pun membeberkan pola logistik di Indonesia lebih bersegmen dan tak bisa disamakan dengan Singapura. Sistem logistik di Indonesia diakuinya melibatkan multimoda yang menjadi struktur risiko dari sisi pasar dan kompetisi yang berbeda.
Dengan demikian, jika pemerintah dan pelaku mengharapkan efisiensi, maka satu per satu struktur yang ada harus diperbaiki. Saat ini, paparnya, di setiap simpul logistik di Indonesia sudah pasti mengeluarkan biaya yang dimulai ketika barang diantarkan dari satu titik ke titik lain.
Komponen biaya tersebut meliputi ocean freight sebesar 12 persen dari struktur biaya, lalu biaya trucking 17 persen, transportasi darat lainnya sebesar 12 persen. Belum lagi biaya Terminal Handling Charges (THC) di pelabuhan asal 12 persen dan THC di pelabuhan tujuan mencapai 18 persen.
Baca Juga
“Aksi pungli memberikan dampak high cost economy dan kompensasi harga jual menjadi lebih tinggi. Selain itu juga bisa menghambat rencana pemerintah untuk menurunkan biaya logistik Indonesia dari 24 persen menjadi 17 persen terhadap PDB dalam Inpres No.5/2020 tentang Penataan Ekosistem Logistik Nasional,” ujarnya, Rabu (16/6/2021).
Hal tersebut, lanjutnya, juga kontras dengan diperlukannya penurunan biaya logistik agar Indonesia bersaing dan berkompetisi dengan negara lainnya. Berdasarkan riset dari Frost dan Sullivan pada 2016, biaya logistik Indonesia mencapai Rp1.820 triliun per tahunnya.
Ibrahim yang juga tim riset dari Samudera Indonesia mengatakan saat ini tantangan yang dihadapi logistik di Indonesia adalah struktur industrinya yang oligopoli.
Struktur ini menyebabkan adanya predatory pricing sehingga biaya logistik pun jadi tak menentu naik dan turunnya. Tak hanya itu, pasar logistik Indonesia bergantung kepada reaksi satu operator dibandingkan dengan operator lainnya. Implikasinya adalah tak adanya korelasi antara freight domestik dan internasional.
“Dari studi yang kita lakukan korelasinya antara freight domestik dan internasional hanya 7 persen. Kita memiliki pasar domestik yang terisolir dari yang berlaku di internasional. Ini tantangan yang isa positif dna sekaligus buruk,” imbuhnya.
Positifnya, kata dia, dengan minimnya korelasi ini membuat inflasi Indonesia masih terkendali saat pasar internasional mengalami penaikan. Sebaliknya, menjadi resiko juga, kalau saat pasar internasional mengalami penurunan, dampaknya minim ke Indonesia.
Selanjutnya, dari sisi pelabuhan menjadi lebih gawat karena mayoritas pelabuhan utama di Indonesia dikelola oleh PT Pelabuhan Indonesia (persero) atau Pelindo. Dengan demikian produktivitasnya digerakkan oleh struktur pasar yang monopoli.
Sementara itu dari sisi transportasi darat (trucking), Indonesia juga masih dihadapkan biaya ekonomi yang tinggi.
“Kesimpulannya, pungli semakin menambah masalah yang terakumulasikan di sektor logistik yang memang sudah tak kompetitif. Pungli pun menghambat adanya efisiensi, efektifitas, dan inovasi. Pemerintah perlu serius menangani permasalahan ini untuk menjamin biaya logistik tetap efektif,” tekannya.