Bisnis.com, JAKARTA — Samuel Sekuritas Indonesia melihat adanya peluang di tengah proyeksi pertumbuhan ekonomi 2025 yang hanya 4,8%.
Kepala Ekonom Senior Samuel Sekuritas Indonesia (SSI) Fithra Faisal Hastiadi menyampaikan memang pertumbuhan ekonomi tersebut lebih rendah dari realisasi 2024 yang sebesar 5,02% maupun dari target pemerintah sebesar 5,2% pada tahun ini.
Meski demikian, Fithra melihat tetap ada peluang di tengah kondisi tersebut. Apalagi, pertumbuhan yang lebih rendah tersebut tetap tangguh—bila dibandingkan dengan negara G20, Indonesia salah satu yang tertinggi.
“Keterlibatan dalam perjanjian perdagangan regional serta kemitraan dapat meningkatkan akses pasar dan meminimalkan tarif Trump,” ujarnya, dikutip pada Minggu (11/5/2025).
Peluang diversifikasi perdagangan tersebut dan peluang investasi baru dari BRICS tercipta, yang didukung oleh stabilitas politik yang didukung oleh koalisi partai-partai besar di belakang Prabowo.
Fithra memandang, pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) ksesluruhan tahun atau fullyear bakal didorong oleh pengeluaran pemerintah yang berfokus pada pemberdayaan kelas menengah seperti program makanan gratis dan bantuan sosial.
Baca Juga
Di bidang investasi, pendirian Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara (BPI Danantara) diharapkan dapat memobilisasi modal, menarik FDI, dan mempercepat pertumbuhan ekonomi.
Sayangnya, nilai tukar yang melemah dengan proyeksi pada akhir tahun ini sebesar Rp16.850 per dolar AS berpotensi menyebabkan daya beli masyarakat melambat.
Sementara harga komoditas yang lebih rendah dapat menurunkan pendapatan petani; masalah defisit kembar dari current account/CA (1,5%) akibat perlambatan ekspor dan juga dari sisi fiskal (2,9%) akibat membengkaknya pengeluaran pemerintah dan kekurangan penerimaan pajak.
Dari sisi lainnya, kemungkinan amnesti pajak alias tax amnesty jilid III dan pertumbuhan ekonomi yang lebih lambat dapat menyebabkan kekurangan penerimaan pajak yang lebih besar menjadi ancaman serius.
Terlebih, Thailand dan Vietnam mengintensifkan persaingan aliran investasi langsung. Belum lagi, adanya ancaman dari perjudian online yang mengikis daya beli, proteksionisme Trump penyelarasan kembali strategi perdagangan dan investasi berisiko.