Bisnis.com, JAKARTA – Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI) angkat bicara mengenai maraknya pemberitaan terkait temuan Kementerian Pertanian (Kementan) terhadap praktik oplos beras yang diduga dilakukan oleh sejumlah produsen beras nasional.
Pengamat Pertanian dari AEPI Khudori menyampaikan, aktivitas oplos-mengoplos sebetulnya merupakan aktivitas normal di industri perberasan.
“Hanya saja, kata ‘oplos’ sudah kadung bercitra negatif dan buruk. Padahal, oplos itu sama dengan mencampur,” kata Khudori dalam keterangannya, Minggu (20/7/2025).
Khudori menuturkan, aktivitas mencampur tidak hanya terjadi pada beras, tapi juga komoditas lain seperti kopi dan teh. Dia mencontohkan, barista harus meracik campuran kopi untuk mendapatkan rasa, aroma, dan sensasi tertentu. Hal serupa juga terjadi pada teh.
Di industri perberasan, Khudori menuturkan bahwa gabah yang diolah di penggilingan akan menghasilkan beras utuh atau butir kepala, beras pecah atau butir pecah, dan menir, juga dedak/bekatul (rice bran), dan sekam.
Sesuai Peraturan Badan Pangan Nasional (Bapanas) No.2/2023 tentang Persyaratan Mutu dan Label Beras, kelas mutu beras dibagi jadi beras premium, beras medium, beras submedium, dan beras pecah. Mutu beras ditentukan atas dasar kriteria keamanan, kandungan gizi, organoleptik, fisik, dan komposisi.
Baca Juga
Beras yang diedarkan harus bebas hama, bebas bau apak, asam, dan bau asing lain serta memenuhi syarat keamanan. Syarat kelas mutu premium antara lain derajat sosoh minimal 95%, maksimal kadar air, butir patah, dan butir menir masing-masing 14%, 15%, dan 0,5%.
Untuk membuat beras premium, penggilingan atau pedagang harus mencampur maksimal butir patah 15% dan maksimal butir menir 0,5%. Hal serupa dilakukan tatkala hendak memproduksi beras medium.
“Oplos ini bukan pelanggaran,” ujarnya.
Khudori juga memastikan, ketika penggilingan membeli gabah petani dari hamparan sawah dapat dipastikan varietas padinya tidak sama. Artinya, sejak di hulu sebetulnya bahan baku beras telah teroplos.
Lebih lanjut, dia menyebut bahwa aktivitas mencampur beberapa jenis beras dimaksudkan untuk memperbaiki rasa dan tekstur sesuai preferensi konsumen. Beras pera harus dicampur dengan yang pulen manakala menyasar konsumen yang suka pulen.
Namun, kegiatan oplos yang dilarang adalah untuk menipu. Dia mengatakan, tindakan penipuan itu misalnya mencampur 70% beras Cianjur dengan 30% beras Ciherang yang kemudian diklaim 100% beras Cianjur dan dijual dengan harga beras Cianjur, yang memang lebih mahal ketimbang Ciherang.
Contoh praktik dengan tujuan menipu lainnya yakni misalnya mencampur beras dengan bahan tidak lazim atau sudah rusak kemudian dipoles ulang agar tampak bagus kembali, padahal mutunya sudah menurun. Bisa juga mencampur dengan pengawet berbahaya.
“Ini semua bisa dikenai delik penipuan,” tegasnya.
Menurutnya, masyarakat awam perlu mengetahui secara utuh ihwal oplos-mengoplos beras mengingat ada sisi-sisi teknis yang tidak dipahami oleh publik.
Apalagi, memaknai oplos secara negatif telah menimbulkan keresahan, terutama masyarakat konsumen. Dalam hal ini, produsen beras lantas menjadi sasaran.
Untuk itu, Khudori mengharapkan agar regulator mengedukasi publik untuk memulihkan kepercayaan. Bersamaan dengan itu, regulator perlu melakukan sosialisasi kepada stakeholders perberasan, termasuk Undang-undang Perlindungan Konsumen agar semua pihak mendapat informasi yang lebih baik dan dapat bertindak sesuai hak dan kewajibannya.
Dia juga mengusulkan agar pemerintah tidak menarik-narik Satuan Tugas (Satgas) pangan untuk menjadi polisi ekonomi. Menurutnya, pendekatan ini telah menempatkan pelaku usaha sebagai ‘musuh negara’ yang dikhawatirkan akan menimbulkan ketidakpastian usaha.
Alih-alih melibatkan Satgas Pangan, Khudori menilai sebaiknya Ditjen Perlindungan Konsumen dan Tertib Niaga Kementerian Perdagangan (Ditjen PKTN Kemendag) yang berada di depan.
“Kalau ditjen ini menemukan tindak kecurangan, barulah diserahkan ke penegak hukum,” pungkasnya.