Bisnis.com, JAKARTA—Indonesia diprediksi berisiko menjadi negara pengimpor pada 2015 jika pertumbuhan produksi biji kakao lebih rendah dibandingkan dengan kebutuhan produksi industri dalam negeri.
Wakil Menteri Perdagangan Bayu Krisnamurthi mengatakan terdapat tiga masalah yang harus dicermati dalam komoditas kakao. Pertama, keberhasilan Indonesia dalam upaya hilirisasi tidak diikuti dengan peningkatan produksi biji kakao sebagai bahan bakunya dalam negeri.
“Nampaknya pertumbuhan panen biji kakao belum seperti yang diharapkan, apalagi setelah program revitalisasi perkebunan komoditas tersebut dihentikan. Saya khawatir 2 tahun lagi kita bisa jadi net importer,” kata Bayu kepada wartawan seusai Lokakarya Kakao 2013, Rabu (18/9/2013).
Terlebih, lanjutnya, akan ada beberapa investor asing yang tertarik untuk meningkatkan dan membangun produksi di Tanah Air. Contohnya, Nestle yang akan meningkatkan kapasitas produksi dan perusahaan kakao asal Amerika Serikat, Hershey’s, yang akan investasi.
Sejak pemerintah mengeluarkan kebijakan bea keluar ekspor biji kakao dengan Peraturan Menteri Keuangan No. 67/2010 pengapalan ke luar negeri terus menurun dan ekspor kakao olahan meningkat.
Dalam kurun waktu 3 tahun ekspor biji kakao mengalami tren penurunan dari 432.437 ton pada 2010 menjadi 210.067 ton pada 2011. Kemudian kembali menurun menjadi 163.501 ton pada tahun lalu.
Adapun, volume ekspor kakao olahan meningkat dari 2010 sebesar 119.214 ton, naik menjadi 195.471 ton pada 2011, dan 215.791 ton pada 2012. Kondisi ini diikuti dengan jumlah industri dalam negeri yang semakin bertambah.
Kapasitas industri kakao pada 2012 mencapai 660.000 ton. Kapasitas industri akan terus meningkat dengan masuknya beberapa investor asing ke Indonesia, sehingga diprediksi mencapai 950.000 ton per tahun pada 2015.
Kedua, pihaknya akan terus mendorong adanya sertifikasi mutu dan geografical identification terhadap keberagaman biji kakao. Komoditas ini mempunyai karakteristik dan rasa yang berbeda di setiap asal daerahnya, contohnya Kakao Mamuju berbeda dengan Kakao Bali maupun Kakao Langkat.
Ketiga, paparnya, konsumsi kakao untuk pasar dalam negeri berpotensi semakin meningkat seiring dengan pertumbuhan kelas menengah di Tanah Air. Meskipun saat ini konsumsi kakao per kapita hanya 0,25 kilogram per tahun.
“Yang bisa kami lakukan adalah pengelolaan impor karena selama ini industri masih membutuhkan kakao dari luar negeri sebagai campuran. Ke depan, pasokan bahan bakunya harus bisa diantisipasi,” ujarnya. (ra)