JAKARTA-Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menemukan delapan kontraktor kontrak kerja sama (KKKS) sektor migas yang tidak memenuhi ketentuan cost recovery dan perpajakan.
Wakil Ketua Hasan BPK Hasan Bisri mengungkapkan ketidakpatuhan tersebut mengakibatkan berkurangnya penerimaan negara sebesar US$81,6 juta. “Hampir satu triliun,” ujarnya kepada Bisnis, Sabtu (19/4). Menurutnya, angka tersebut berasal dari koreksi cost recovery dan koreksi kewajiban perpajakan.
Dari total tersebut, menurutnya, senilai US$68,5 juta merupakan ketidakpatuhan terhadap ketentuan cost recovery. Sisanya, sebesar US$13 juta terkait dengan ketentuan perpajakan.
Hasan mengungkapkan adanya pembebanan biaya-biaya yang seharusnya tidak bisa dibebankan ke dalam cost recovery. Menurutnya, Pembebanan tersebut mengurangi nilai bagi hasil produksi migas. “Akhirnya, berdampak pada penerimaan negara.”
Hasan mengemukakan, kedelapan kontraktor tersebut yakni BP Indonesia Ltd WK Berau, Muturi, dan Wiriangar (Tangguh Joint Venture), CNOOC SES Ltd WK South East Sumatra, Citic Seram Energy Ltd WK Seram Non Bula, Petrochina International Jabung Ltd WK Jabung, Hess Indonesia Pangkah Ltd WK Pangkah, Vico Indonesia WK Sanga-sanga, Energi Mega Persada Malacca Strait S.A. WK Malacca Strait, dan Star Energy (Kakap) Ltd WK Kakap.
Menanggapi persoalan tersebut, Deputi Pengendalian Keuangan Satuan Kerja Khusus Pelaksanaan Kegiatan Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) Budi Agustyono mengatakan saat ini SKK Migas tengah mendalami hasil audit tersebut.
“Kami mau hitung dulu supaya tidak salah menjawab,” ujarnya kepada Bisnis, Sabtu (19/4). Menurutnya, saat ini SKK Migas tengah menjalin komunikasi dengan BPK. Selain itu, pihaknya juga melakukan klarifikasi kepada pihak KKKS.
Dalam Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester II Tahun 2013 BPK, ketidakpatuhan terhadap cost recovery terkait dengan biaya penetapan kontrak yang melebihi Harga Perkiraan Sendiri (HPS) atau owner estimate (OE).
Ketidakpatuhan juga ditemukan dalam pekerjaan melebihi persetujuan (authorization for expenditure/AE) di atas 10%. Selain itu, pembebanan biaya letter of credit ke dalam cost of sale juga ditemukan kejanggalan.
Temuan signifikan berasal dari penetapan harga kontrak jack up drilling rig yang melebihi HPS/OE. Nilainya mencapai US$20,5 juta. Temuan lain berasal dari pembebanan biaya letter of credit yang mencapai angka US$7 juta ke dalam cost of sales pada 2012 yang tidak sesuai ketentuan. Selain itu ditemukan realisasi pembayaran insentif kepada pekerja senilai US$3 juta yang tidak sesuai ketentuan.
Adapun ketidakpatuhan kontraktor terkait perpajakan antara lain soal pemerintah kehilangan pendapatan dari bagi hasil pengelolaan migas senilai US$11,8 juta. Angka tersebut berasal dari kewajiban pembayaran Pajak Perseroan (PPs) dan Pajak Bunga Dividen dan Royalti (PBDR) bagian kontraktor pada 2011 dan 2012. Masing-masing senilai US$4,9 juta dan US$6,9 juta.
Selain itu, adanya denda keterlambatan pembayaran pajak pertambahan nilai yang belum disetor oleh kontraktor ke kas negara senilai US$279,89 ribu. Juga terdapat pembayaran pajak penghasilan pemegang participating interest (PI) tidak sesuai dengan tarif production sharing contract (PSC) senilai US$881,52 ribu.
Atas temuan tersebut, BPK telah mengoreksi perhitungan pembebanan cost recovery. Terkait perhitungan perpajakan, BPK merekomendasikan kepada entitas terkait agar memberitahukan kepada KPP Migas supaya menerbitkan Surat Tagihan Pajak (STP). Surat ini bertujuan untuk penyetoran denda keterlambatan pajak, membayar selisih perhitungan pajak penghasilan ke kas negara, dan memberi rekomendasi kepada Pemerintah.
SKK Migas juga diminta melakukan amandemen PSC dan/atau amandemen tax treaty terhadap pemegang PI yang menggunakan tax treaty, membayar kewajiban PPs, dan PDBR.