Bisnis.com, JAKARTA—Indonesia membutuhkan tingkat pertumbuhan setidaknya 9% untuk menghindari jebakan negara dengan pendapatan menengah dan segera menjadi negara berpendapatan tinggi pada 2030.
Indonesia sempat mencatat pertumbuhan signifikan berkat lonjakan harga komoditas sepanjang 2003-2011 dan suku bunga global yang rendah sejak 2009. Tetapi, pertumbuhan ekonomi negara kepulauan ini terus melambat, bahkan di bawah 6% pada 2013.
Harga komoditas yang terus melemah signifikan sejak 2011 dan normalisasi moneter bank sentral AS melalui tapering atau pemangkasan pembelian obligasi bulanan membuat jebakan negara berpendapatan menengah tersebut semakin nyata.
“Risiko perangkap itu sangat nyata dan layak dikhawatirkan. Sebut saja Brasil yang tumbuh cepat pada 1960-1970, tetapi terus melambat hingga dua dekade setelah 1981. Tanpa adanya reformasi struktural, risiko perlambatan Indonesia sangatlah nyata,” kata Ekonom Utama World Bank Ndiame Diop di Jakarta, Senin (23/6/2014).
World Bank menunjukkan ekonomi Indonesia terangkat rata-rata 5,7% sepanjang 2003-2012. Pertumbuhan ekonomi di atas rata-rata saat ini juga mampu mengakomodasi 15 juta pekerja baru yang siap bergabung pada 2020.
Laporan yang berjudul Indonesia: Avoiding The Trap yang dirilis oleh World Bank itu memperkirakan ekonomi yang hanya terdongkrak 4%-5% bakal menciptakan peluang kerja 6 juta-7 juta . Tetapi, ketika Indonesia mampu tumbuh di atas 6%, lapangan pekerjaan akan bertambah hingga 12 juta pekerjaan baru.
Untuk itu, dia berpendapat Indonesia harus terus-menerus melakukan reformasi struktural untuk mencapai tingkat pertumbuhan yang tinggi, baik secara kualitatif dan kuantitatif.
Reformasi struktural yang dimaksud adalah infrastruktur, sumber daya manusia (SDM). Kedua faktor tersebut berfungsi untuk meningkatkan daya saing produk dan jasa maupun tenaga kerja Indonesia terhadap produk di negara lain.