Bisnis.com, JAKARTA—Kalangan pengusaha alat berat atau alat konstruksi masih menunggu dan mengamati perkembangan nilai tukar rupiah sebelum mengambil langkah bisnis terbaik.
Ketua Asosiasi Pengusaha dan Pemilik Alat Konstruksi Indonesia (Appaksi) Sjahrial Ong mengatakan biaya alat berat dapat mencapai 40% dari total biaya konstruksi sehingga kenaikan harganya akan berpengaruh signifikan bagi industri konstruksi.
Sementara itu, tingkat ketergantungan terhadap luar negeri masih sangat tinggi. Meskipun sejumlah moda sudah mulai diproduksi di dalam negeri, namun komponennya sebagian besar masih didatangkan dari luar negeri dengan nilai mencapai 70%-80% dari total nilai alat berat.
“Dengan kondisi dolar yang seperti ini, terus terang memang sangat mengkhawatirkan,” katanya kepada Bisnis.com, Minggu (15/3/2015).
Sjahrial mengatakan risiko bisnis alat berat menjadi sulit diprediksi di tengah ketidakstabilan rupiah. Sementara itu, tidak mudah untuk mengubah kesepakatan nilai kontrak proyek yang sudah berjalan.
Selain itu, sektor tambang yang sempat jatuh juga semakin memperburuk posisi para pelaku usaha alat berat.
“Kalau tambang tidak jatuh kan paling tidak banyak yang bisa diekspor dan kontrak tambang juga pakai dolar sehingga tidak masalah. Tetapi yang di luar tambang itu pada umumnya kontrak rupiah sedangkan pengadaan spare part harus pakai dolar sehingga sangat tertekan,” katanya.