Bisnis.com, JAKARTA - Kalangan pengembang perumahan menilai Bank Indonesia (BI) perlu mencabut kebijakan larangan pemberian kredit untuk unit properti yang belum selesai masa pembangunannya atau inden.
Eddy Ganefo, Ketua Umum Asosiasi Pengembang Perumahan Sederhana Indonesia (Apersi), menjelaskan larangan inden membuat arus kas perusahaan pengembang menjadi terbatas karena sumber dana untuk pembangunan proyek murni dari modal perusahaan.
Sementara itu, pengembang sulit mengakses dana dari perbankan karena beban bunga yang tinggi. "Harusnya diberikan kelonggaran agar lebih bergairah. Pasar sedang lesu dan larangan inden akan memberatkan pengembang," ujarnya seperti dikutip dari Harian Bisnis Indonesia, Senin (3/8/2015).
Sebagaimana diketahui, sejak September 2013 BI melarang perbankan menyalurkan pembiayaan untuk unit inden. Ini berlaku untuk fasilitas kredit pemilikan rumah (KPR) kedua dan seterusnya. Sementara itu, untuk KPR pertama masih dibolehkan dengan pencairan pinjaman disesuaikan dengan perkembangan pembangunan unit.
Eddy mengatakan dampak pelonggaran kebijakan loan to value (LTV) yang diterbitkan Juni 2015 lalu akan terbatas pada penjualan unit rumah. Pasalya, daya beli masyarakat, menurut Eddy, mengalami tren menurun seiring laju perlambatan pertumbuhan ekonomi.
Eddy menilai untuk mengakomodasi kemampuan masyarakat dalam membeli rumah, regulator perlu menurunkan uang muka atau menaikkan LTV menjadi 90%. Menurutnya, ini perlu dilakukan terutama untuk fasilitas KPR pertama dan KPR kedua."Kalau [uang muka] KPR pertama dan KPR kedua dilonggarkan, dampaknya akan lebih dashyat," katanya.
Dia menepis kekhawatiran regulator akan terjadinya gelembung harga jika LTV untuk rumah kedua dipatok 90%. Eddy beralasan, kebutuhan masyarakat untuk memiliki rumah tinggal kedua tengah dalam tren menanjak seiring kenaikan pendapatan. "Kalau untuk rumah ketiga memang untuk investasi, sebaiknya memang perlu dijaga [LTV] nya," ucap Eddy.