Bisnis.com, SEMARANG - Pemerintah diharapkan dapat segera merealisasikan rencana pelonggaran kebijakan loan to value (LTV) karena kondisi pasar properti belum memperlihatkan perbaikan hingga saat ini.
Direktur Utama PT Propernas Griya Utama Chavidz Ma'ruf menyatakan perlambatan pasar properti yang telah terjadi terbukti masih terasa hingga tahun ini. Menurutnya, minat pembelian properti pada tahun ini belum terlalu bergairah.
"Kalaupun pemerintah memberikan kelonggaran, pertanyaan kami adalah sejauh mana kelonggarannya. Kalau bisa uang muka KPR pertama dan kedua cukup 10% saja. Baru KPR ketiga dan seterusnya bisa lebih tinggi," ujarnya saat dihubungi Bisnis, Jumat (27/5/2016).
Selain membayar uang muka, jelasnya, konsumen juga dikenakan banyak biaya tambahan seperti biaya notaris, pajak, dan asuransi yang jumlahnya tidak sedikit.
"Kalau 10% ditambah seluruh biaya tersebut, jumlahnya juga sudah banyak. Akibatnya cukup banyak konsumen kami yang memilih membayar secara tunai bertahap, karena syaratnya lebih mudah dan tidak ada biaya tambahan lainnya," kata pengembang proyek Sentraland Semarang tersebut.
Dia menuturkan selain stimulus bagi konsumen dibutuhkan pula stimulus untuk pengembang, yang terkait dengan kebijakan KPR inden. Seiring dengan kondisi ekonomi yang masih lambat, dia menilai kekuatan pengembang saat ini mulai melemah.
Oleh karena itu, keberadaan KPR inden dinilai sangat memberatkan, khususnya dalam pengembangan high rise building. Dia berharap pemerintah dapat memberikan kelonggaran pula terhadap kebijakan tersebut.
"Pemerintah bisa memberikan keleluasan kepada bank penyalur dalam memberikan KPR inden. Seharusnya jika pengembang tersebut telah menyelesaikan seluruh kewajiban terkait perencanaan dan izin, pemberiaan kredit sudah bisa diserahkan seluruhnya sejak awal. Bank penyalur juga bisa melihat bagaimana rekam jejak pengembang bersangkutan," paparnya.