Bisnis.com, JAKARTA - Kementerian Ketenagakerjaan menargetkan penarikan pekerja anak sebanyak 16.500 orang pada tahun 2016.
Sasaran utama dari program Kampanye Menentang Pekerja Anak ini adalah anak bekerja dan putus sekolah yang berasal Rumah Tangga Sangat Miskin (RTSM) dan berusia 7-15 tahun.
Menteri Ketenagakerjaan M Hanif Dhakiri mengatakan kawasan-kawasan industri di seluruh Indonesia bakal menjadi target prioritas program bebas pekerja anak.
Seluruh perusahaan di kawasan-kawasan industri tersebut dilarang keras melakukan rekrutment dan mempekerjakan pekerja anak di semua bidang pekerjaan.
“Para pengusaha, orangtua dan masyarakat harus tahu dan menyadari bahwa berdasarkan UU Perlindungan Anak, mempekerjakan anak di bawah umur adalah dilarang. Apalagi untuk pekerjaan-pekerjaan terburuk dan berbahaya,” katanya, dalam keterangan tertulis, Selasa (14/6/2016).
Lebih lanjut, Hanif berujar penarikan pekerja anak yang dilakukan untuk mendukung program Keluarga Harapan (PKH) ini bakal digelar di 24 Provinsi dan 138 Kabupaten/kota.
Pihaknya juga menggalang kerjasama dengan instansi pemerintah, dunia usaha dan industri, serikat pekerja, lembaga swadaya masyarakat, orang tua dan masyarakat umum.
“Percepatan penarikan pekerja anak harus melibatkan semua sektor terkait.”
Sejak 2008 sampai 2015, Kemnaker telah menarik 63.663 pekerja anak dan dikembalikan ke satuan pendidikan.
Rinciannya, 2008 sebanyak 4.853 orang. 2009 tidak ada kegiatan, 2010 sebanyak 3.000 orang, 2011 sebanyak 3.060 orang, 2012 sebanyak 10.750 orang dan 2013 sebanyak 11.000 orang, 2014 sebanyak 15.000, dan 2015 sebanyak 16.000.
Dengan progam ini diharapkan dapat mencegah anak-anak terutama dari pekerjaan terburuk dan berbahaya seperti perbudakan, pelacuran, pornografi, perjudian, dan keterlibatan narkoba. Indonesia ditargetkan menjadi negara bebas pekerja anak pada tahun 2022.
“Pekerja anak yang ditarik kemudian akan menjalani program pendampingan khusus selama 4 bulan. Seusai pendampingan mereka akan kembali disekolahkan untuk belajar di bangku sekolah seperti SD, SMP, SMA, madrasah dan pesantren ataupun kelompok belajar paket A, B, dan C,” kata Hanif.