Bisnis.com, JAKARTA-Jalanan di bilangan Tebet, Jakarta Selatan menjadi pelanggan macet parah setiap menjelang akhir pekan. Tak terkecuali Jumat sore pekan terakhir November, ketika Didi terjebak kepadatan jalan saat sedang ‘narik’ mobil Avanza hitamnya untuk mengantar penumpang.
Didi adalah driver salah satu ‘taksi’ pelat hitam berbasis aplikasi online dan biasa beroperasi di daerah Menteng, Kuningan, Setiabudi, Tebet, dan sekitarnya. Pemuda akhir 30-an asal Lampung itu sudah hampir setahun terakhir menekuni profesinya itu.
Dia mengaku menikmati pekerjaannya, karena setiap hari dia bisa bertemu dengan berbagai macam karakter dan cerita dari penumpang. Tak jarang pula dia menjumpai berbagai kejadian berkesan saat sedang bertugas.
Saat ini, Didi menjadi driver untuk ‘taksi’ online yang menerapkan sistem tarif flat berdasarkan jarak tempuh. Rupanya, dia bekerja tidak hanya untuk satu aplikasi. Diam-diam, dianyambi untuk dua aplikasi sekaligus, yang sama-sama menggunakan sistem tarif flat.
“Soalnya, app yang satu menerapkanhigh fare saat jam-jam sibuk, sedangkan yang satunya lagi tidak. Kalau saya tidak nyambi begini, bisa-bisa saya rugi uang bensin kalau pas jam-jam macet. Meskipun sebenarnya banyak penumpang mencari yang tarifnya murah.”
Menurutnya, setiap hari dia tidak pernah sepi penumpang. Permintaan akan ‘taksi’ pelat hitam di Jakarta begitu tinggi; apalagi di jalanan protokol. Dalam sehari, dia ditarget mengantar minimal 8 penumpang untuk mendapatkan bonus dari perusahaan aplikasinya.
Target itu, kata Didi, sangat mudah dicapai. Saking mudahnya mencari konsumen, hampir setiap hari dia sanggup mengantar penumpang melebihi target yang ditentukan. Bonus pun selalu dia kantongi, dan cuan mengalir ke rekeningnya dengan cepat.
“Makanya, pekerjaan ini menyenangkan sekali. Kita tidak terikat waktu, lebih fleksibel mau narik kapan saja. Yang penting target terpenuhi. Senangnya lagi, nyari penumpangnya mudah sekali. Namun, gara-gara itu juga sih sopir-sopir taksi suka sewotsama kami-kami ini.”
Tak jarang Didi memperoleh perlakuan sengit dari para sopir taksi pelat kuning saat sedang mengantar atau menjemput penumpang di mall. Sampai-sampai, dia mengaku terkadang harus ‘diam-diam’ saat sedang beroperasi agar jangan sampai ketahuan sopir taksi resmi.
“Ya mau gimana lagi. Penumpang pasti akan mencari transportasi yang lebih nyaman dengan tarif lebih murah. Dengan adanya tarif flat, penumpang merasa ada kepastian berapa harga yang harus dibayar, meskipun jalanan sedang sangat macet,” ujarnya.
Namun, persaingan ‘taksi’ onlinebelakangan ini tidak hanya datang dari taksi pelat kuning. Sekarang ini, kompetisi tarif antarperusahaan transportasi berbasis aplikasi semakin ketat. Penumpang pun dihadapkan pada pilihan jasa transportasi yang semakin terjangkau.
Tinggal pilih saja; ada aplikasi yang menggunakan sistem argo dengan harga terjangkau, ada yang memakai tarif flat dengan rentang harga normal sepanjang hari, dan ada juga yang menetapkan tarif flat tetapi mematok harga lebih tinggi pada jam-jam macet.
Ambil contoh; tarif dari salah satu ‘taksi’ app yang menerapkan high fareuntuk jarak tempuh Jalan Prof. Dr. Satrio—Bandara Halim Perdana Kusuma mencapai sekitar Rp156.000. Namun, app lain dengan tarif flatnormal harganya hanya Rp67.000 untuk jarak yang sama.
“Itulah kenapa sekarang banyak juga sopir yang nyambi untuk dua aplikasi sekaligus. Ya, menyiasati perang tarif itu. Jadi saat jam-jam sibuk, aplikasi yang pakai tarif high fare yang dinyalakan. Saat jam senggang, saya pakai yang lainnya. Biar win-win, kami tidak rugi.”
Didi mengaku sebenarnya praktiknyambi tersebut tidak diperbolehkan oleh perusahaan. Bahkan aplikasi Grab Car dan Uber sudah menerapkan sistem yang bisa mendeteksi kalau ada sopir yang nekat nyambi. Namun, teknologi itu belum diterapkan oleh Go-Car.
“Makanya, banyak sopir—khususnya yang biasa beroperasi di pusat kota—yang nyambi antara Grab Car dan Go-Car atau Uber dan Go-Car. Sebab, kalaunyambi antara Grab Car dan Uber pasti ketahuan kalau sekarang,” akunya.
DUA PEMAIN
Dampak adu murah tarif ‘taksi’ onlineterhadap sopir, penumpang, dan taksi konvensional tersebut tidak hanya ditemui di Indonesia. Itu adalah fenomena yang marak terjadi di hampir seluruh negara Asean. Pemain terbesarnya (untuk skala regional) adalah Grab dan Uber.
Kedua perusahaan itu begitu sengit memperebutkan pasar Asia Tenggara melalui perang tarif. Akibatnya, pendatang baru yang ingin menerobos bisnis transportasi berbasis aplikasi di Asean harus mempertaruhkan banyak hal untuk bisa mendapat secuil jatah pasar.
Potensi pasar penumpang ‘taksi’ onlinedi Asia Tenggara begitu besar dan menggiurkan. Nilainya diprediksi tumbuh ke level US$13 miliar pada 2025. Maka tak mengherankan jika Grab dan Uber jor-joran banting harga untuk memenangkan pasar itu.
Grab lahir di Malaysia pada 2012 dan sudah lebih dulu berpengalaman di pasar Asia Tenggara. Pada September tahun ini, perusahaan yang berbasis di Singapura itu mendapat tambahan sokongan kapital senilai US$750 juta dari Softbank.
Uber, di lain pihak, hengkang dari China untuk memenetrasi pasar Asean setelah menjual asetnya ke perusahaan transportasi DiDi Chuxing (dulu Didi Kuaidi) pada Agustus 2016. Untuk merebut pasar Asean, Uber menambah sumber daya sebanyak dua kali liipat.
Perusahaan yang menginvestasikan US$1 miliar ke Uber Global itu juga getol meningkatkan teknologi yang mereka miliki. Mereka sudah membangun Advanced Technology Center-nya sendiri di Strip District, Pittsburgh.
Lantas, seperti apa bentuk perang tarif antara 2 aplikasi transportasi paling terkenal di Asia Tenggara itu? Baik Uber, Grab, maupun taksi pelat kuning masing-masing memiliki komponen harga yang berbeda dalam menetapkan tarif.
Sebuah survei yang dihelat iPrice Group mengindikasikan sejauh ini Uber keluar sebagai pemenang dalam adu murah tarif transportasi berbasis aplikasi di Asean. Uber merajai pasar Indonesia, Malaysia, Thailand, dan Vietnam.
“Grab sendiri lebih dominan di pasar Filipina dan Singapura. Itu berdasarkan tarif termurah per 20 km. Adapun, taksi konvensional semakin tergilas dalam persaingan di ketujuh negara Asia Tenggara tersebut,” papar Content Marketing Executive iPrice Andrew Prasetya.
Dalam hasil studi yang diterima Bisnis, iPrice merangkum rerata tarif di Indonesia untuk jarak 5 km dari Uber, Grab, dan taksi konvensional masing-masing adalah Rp20.000, Rp25.500, dan Rp31.000.
Adapun, rata-rata tarif untuk jarak 20 km dari Uber, Grab, dan taksi konvensional masing-masing adalah Rp62.500, Rp73.000, dan Rp95.000. Rerata harga itu masih lebih murah dibandingkan dengan rerata tarif transportasi serupa di negara Asean lain. (Lihat tabel.)
“Di Indonesia—khususnya Jakarta, Surabaya, Bandung, Medan, Makassar, dan Bali—kondisi jalan akan padat pada jam pergi dan pulang kerja. Rata-rata masyarakat Indonesia menghabiskan sekitar 1—3 jam di perjalanan,” jelas Andrew.
Menurutnya, kondisi jalanan di Indonesia yang seperti itu memicu masyarakat untuk memilih moda transportasi yang termurah, tercepat, dan mudah didapatkan. Nah, pilihan yang paling masuk akal untuk menjawab kebutuhan itu sementara ini hanyalah ‘taksi’ online.
Itulah mengapa, meskipun kerap terjadi perdebatan antara perusahaan transportasi berbasis aplikasi dengan pemerintah dan perusahaan taksi konvensional, konsumen tetap lebih memilih moda transportasi ‘taksi’online.
“Masyarakat—di Indonesia atau di manapun negaranya—akan memilih transportasi yang memiliki pelayanan terbaik dengan harga termurah. Apakah taksi konvensional lama-kelamaan akan hilang karena kalah bersaing? Hanya pasar yang bisa menjawab.”
Perbandingan Tarif Uber, Grab, dan Taksi di Asia Tenggara*:
---------------------------------------------------------------------------------------------
Negara: Uber (Rp/5km): Grab (Rp/5km): Taksi (Rp/5km):
---------------------------------------------------------------------------------------------
Indonesia 20.000 25.500 31.000
Malaysia 25.500 24.500 31.000
Filipina 36.500 25.500 34.000
Singapura 76.000 58.500 95.000
Thailand 28.500 30.000 39.500
Vietnam 30.000 36.500 47.500
---------------------------------------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------
Negara: Uber (Rp/20km): Grab (Rp/20km): Taksi (Rp/20km):
---------------------------------------------------------------------------------------------
Indonesia 62.500 73.000 95.000
Malaysia 69.000 88.000 83.000
Filipina 89.500 77.000 88.000
Singapura 173.000 157.000 220.000
Thailand 61.000 83.000 80.000
Vietnam 103.000 129.000 172.000
---------------------------------------------------------------------------------------------
Sumber: iPrice, 2016
*) Ket: Harga mencakup tarif dasar, tarif jarak, dan tarif waktu
Pemaparan jarak 5km dan 20km menunjukkan bagaimana jarak perjalanan memengaruhi semua mode transportasi. Estimasi waktu perjalanan dihitung dari 3 rata-rata waktu perjalanan 5 rute paling populer di masing-masing kota utama melalui Google Maps.