Bisnis.com, JAKARTA - Realisasi ekspor Indonesia ke Mesir menghadapi tantangan setelah Negeri Piramida itu menaikkan bea masuk hingga enam kali lipat.
Ketentuan tersebut diberlakukan setelah Presiden Mesir Abdel Fattah al-Sisi menandatangani Peraturan Presiden No. 538 Tahun 2016 pada 30 November 2016. Kenaikan bea masuk barang impor ini berlaku sejak 1 Desember 2016.
Aturan itu ditetapkan untuk 320 komoditas impor nonmigas yang dikelompokkan dalam dua tipe yakni komoditas impor yang memiliki alternatif lokal (barang sejenis di dalam negeri) dan barang konsumsi yang dapat dijual langsung ke konsumen. Dengan kenaikan ini, harga produk akan melonjak.
Produk ekspor nonmigas utama Indonesia yang masuk dalam kategori tersebut antara lain combined refrigerators-freezers household type (HS 8418.10); soap in other forms other than chip (HS 3401.20); other pineapple juice (HS 2009.49); other color receivers, not battery operated (HS 8528.72); dan other household & toilets articles, of plastics (HS 3924.90).
Sebelumnya, tarif bea masuk berkisar 10%-40%. Namun, dengan perubahan ini angkanya naik menjadi 20%-60%. Tarif baru tidak berlaku terhadap negara-negara yang memiliki perjanjian perdagangan bebas dengan negara itu seperti Uni Eropa (UE), negara-negara Arab, Turki, dan negara anggota The Common Market for Eastern and Southern Africa (Comesa).
Dirjen Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan (Kemendag) Dody Edwards mengatakan peraturan tersebut bakal berdampak secara langsung, baik terhadap importir/konsumen di Mesir maupun terhadap eksportir Indonesia.
“Para eksportir diharapkan dapat mengambil langkah-langkah antisipatif, terutama terkait dengan harga, sehingga dapat mempertahankan pangsa pasar yang sudah ada. Selama ini neraca perdagangan Indonesia dengan Mesir masih menunjukkan nilai yang positif,” ujarnya dalam pernyataan resmi yang diterima Bisnis pada Kamis (12/1/2017).
Pemerintah Mesir beralasan kenaikan tarif bakal mendorong industri dalam negeri, meningkatkan pendapatan negara, dan menekan impor sehingga defisit neraca perdagangan dapat berkurang.
Menurut Dody, keputusan itu diambil di tengah melemahnya mata uang Mesir terhadap dolar AS, menurunnya pendapatan dari pariwisata, berkurangnya minat investasi asing, serta terpangkasnya pendapatan dari Terusan Suez.
Kebijakan ini bukan satu-satunya pengetatan impor yang dilakukan Mesir pada 2016. Negeri di Afrika Utara itu sebelumnya sudah menetapkan kewajiban pendaftaran eksportir tujuan Mesir ke General Organization for Export and Import Control (GOEIC) dan kebijakan value added tax (VAT) sebesar 13% yang bakal naik menjadi 14% pada Juli 2017.
Untuk itu, pemerintah mengaku akan lebih memperhatikan kebijakan ekspor impor yang terkait dengan negara tersebut. Direktur Pengamanan Perdagangan Kemendag Pradnyawati menegaskan bakal berkoordinasi dengan eksportir mengenai pengaruh dari kenaikan tarif ini.
“Apabila ke depan peraturan ini berpeluang menjadi hambatan, kami bersama pihak yang menangani hambatan tarif akan melakukan pembelaan dalam kerangka WTO,” terang dia.
Selama 2011-2015, tren ekspor non migas Indonesia ke Mesir menyusut 0,72%. Sementara itu, sepanjang Januari-Oktober 2016 realisasi ekspor non migas ke negara itu tercatat mencapai US$895,4 juta atau lebih rendah 8,54% dari periode yang sama tahun sebelumnya yang senilai US$978,9 juta. (AMA)