Bisnis.com, JAKARTA - Asosiasi Driver Online mengusulkan kepada pemerintah terdapat tarif minimal penggunaan angkutan umum berbasis aplikasi sebesar Rp20.000 dalam revisi beleid yang sedang dibuat oleh Kementerian Perhubungan.
Ketua Umum Asosiasi Driver Online (ADO) Christiansen FW mengatakan tarif minimal sebesar Rp20.000 tersebut berdasarkan hasil perhitungan asosiasi dengan salah satunya mempertimbangkan biaya operasional bersih kendaraan.
Tarif minimal Rp20.000 tersebut, ungkapnya dengan jarak tempuh 3 kilometer. Adapun biaya operasional bersih para pelaku usaha angkutan umum berbasis aplikasi mencapai Rp4.000 per kilometer.
“Angka Rp20.000 sudah sesuai dengan biaya operasional kendaraan yang kami keluarkan,” kata Christiansen di Jakarta pada Senin (2/10/2017).
Dia menjelaskan tarif minimal Rp20.000 dapat membuat angkutan umum berbasis jalan raya lainnya seperti bajaj atau angkutan perkotaan (angkot) dapat dilirik kembali oleh masyarakat. Oleh karena itu, tarif minimal Rp20.000 tersebut dapat membuka peluang angkutan umum berbasis jalan lainnya mendapatkan konsumen.
“Supaya penumpang-penumpang untuk jarak pendek tidak menggunakan kami. Tapi, kalau mau menggunakan, mereka harus bayar dengan minimal Rp20.000. Akhirnya, ini memberikan peluang juga buat mereka naik angkot, naik bajaj. Akhirnya kita berbagi,” katanya.
Dia mencontohkan selama ini masyarakat lebih memilih angkutan umum berbasis aplikasi daripada bajaj, sebagai contoh, lantaran angkutan umum berbasis aplikasi bisa mengangkut penumpang lebih banyak daripada bajaj.
Sementara itu terkait dengan tarif batas atas, lanjutnya, dia mengusulkan ada batasannya. Namun, ungkapnya, asosiasi tidak mengusulkan nominalnya kepada pemerintah.
Dia mengatakan pihaknya menyerahkan besaran nominal tarif batas atas angkutan umum berbasis aplikasi kepada pemerintah.
Tidak hanya tarif minimal untuk angkutan umum berbasis aplikasi roda empat, Asosiasi juga mengusulkan kepada pemerintah tarif minimal untuk roda dua. ADO mengusulkan tarif minimal yang dikenakan terhadap penumpang pengguna ojek online sebesar Rp7.500.
Pemerintah, lanjutnya, tetap perlu mengatur tarif angkutan umum berbasis aplikasi karena semakin lama tarif angkutan umum tersebut semakin murah.
“Kita minta tarif [tetap] diatur karena semakin murah. Memang menguntungkan masyarakat, tapi merugikan kami sebagai pelaku usaha,” katanya.
Selain itu, asosiasi juga mengusulkan kuota bagi angkutan umum berbasis aplikasi tetap ada dalam beleid baru mengingat persaingan yang terjadi di lapangan tidak hanya antara angkutan umum berbasis aplikasi dengan angkutan umum reguler.
Terakhir, dia mengatakan pihaknya juga mengusulkan kepada pemerintah adanya aturan terkait perusahaan teknologi informasi yang memiliki aplikasi penyedia jasa transportasi angkutan umum berbasis aplikasi.
Menurutnya, perusahaan teknologi informasi kerap melakukan pembekuan sepihak yang merugikan para mitra.
Sementara itu terkait dengan nama angkutan umum berbasis aplikasi dalam beleid baru yang sedang disusun pemerintah, dia menolak angkutan umum berbasis aplikasi masuk dalam ranah taksi meskipun bernama taksi khusus.
Menurutnya, kondisi tersebut berpeluang kembali digugat ke Mahkamah Agung karena akan berbenturan dengan Undang-Undang No. 22/2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (LLAJ).
Oleh karena itu, dia berharap angkutan umum berbasis aplikasi sebaiknya tetap masuk dalam ranah angkutan umum sewa dengan nama angkutan sewa khusus.