Bisnis.com, JAKARTA — PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) fleksibel dalam membangun pembangkit listrik, yaitu mengikuti pertumbuhan konsumsi listrik di Tanah Air.
Kabinet Joko Widodo—Jusuf Kalla memiliki program megaproyek pembangkit berkapasitas 35.000 megawatt (MW) yang ditargetkan selesai pada 2019 dengan asumsi pertumbuhan ekonomi di atas 7%.
Pemerintah kemudian merevisi target itu bukan sampai 2019, tetapi hingga 2024 mengingat pertumbuhan ekonomi di dalam negeri masih berada di bawah 7%.
Saat ini, PLN masih mengkaji untuk menenurunkan target kapasitas megaproyek pembangkit 35.000 MW.
Bahkan, Presiden Joko Widodo dan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution telah memberi isyarat bahwa target infrastruktur kelistrikan itu akan direvisi karena dikhawatirkan kelebihan pasokan listrik.
Menteri ESDM Ignasius Jonan sebelumnya juga menegaskan bahwa proyek 35.000 MW akan dikerjakan hingga 2024.
Direktur Perencanaan Korporat PLN Syofvi Felienty Roekman mengatakan bahwa PLN akan menyesuaikan pembangunan pembangkit listrik sesuai dengan asumsi permintaan listrik selama 10 tahun.
"Kami masih menghitung berapa target yang akan ditetapkan. PLN harus mampu mengatur ritme. Kalau 35.000 MW itu bisa over [kelebihan pasokan listrik]," katanya saat konferensi pers, Selasa (17/10).
Saat ini, pembangkit listrik dengan total kapasitas 773 MW 2% dari total 35.000 MW telah beroperasi secara komersial. Pembangkit yang dalam tahap konstruksi mencapai 15.266 MW atau 40% dan 10.255 MW atau 27% sudah terkontrak, tetapi belum konstruksi. Sisanya, 4.563 MW atau 12% dari target 35.000 MW masih dalam tahap pengadaan dan 6.970 MW atau 19% dalam tahap perencanaan.
Tahun ini, PLN menargetkan pembangkit listrik dengan total kapasitas 26.000 MW akan masuk dalam tahap konstruksi. Total pembangkit yang sudah melakukan penuntasan pendanaan (financial closing) mencapai 8.748 MW.
Selama 5 tahun terakhir, PLN telah menambah pembangkit listrik dengan kapasitas 1.482 MW pada 2012, 2.138 MW pada 2013, 1.837 MW pada 2014, 2.150 MW pada 2015, dan 3.714 pada 2016.
Sebelumnya, Presiden Jokowi mengatakan, jika 35.000 MW tersebut melebihi permintaan, PLN akan kesulitan dan menanggung risiko fiskal. Hal ini, tentunya juga akan berdampak kepada keuangan negara, mengingat PLN adalah perusahaan setrum pelat merah.
Menurut Jokowi, yang terpenting adalah pasokan listrik bisa mencukupi untuk seluruh wilayah hingga ke pelosok. Saat ini, rasio elektrifikasi di Indonesia tercatat mencapai 92,79%.
Menurut Syofvi, PLN juga akan melakukan penambahan pembangkit juga disesuaikan dengan kondisi suatu wilayah. Seperti di Sumatra dan Kalimantan yang lebih cocok dibangun pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) mulut tambang karena banyak tambang batu bara.
Syofvi menegaskan, perseroan mendukung pemerintah yang akan memprioritaskan pembangunan PLTU dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2018-2027.
Hal tersebut juga didukung dengan cara mengakuisi perusahaan tambang batu bara. Sslain itu, PLN masih memikirkan harga khusus batu bara, meski skema cost plus margin telah ditolak oleh pemerintah.
"PLTU yang menggunakan batu bara juga menjadi salah satu fokus PLN karena lebih efisien."
Ditanya tentang adanya beberapa proyek PLN yang ternyata harus ditunda dan direvisi sesuai dengan perkembangan dan beban kekuangan PLN, Syofvi mengatakan bahwa setiap tahun proyek-proyek PLN tersebut memang harus direvisi.