Bisnis.com, JAKARTA -- Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution mengakui bahwa transaksi perdagangan ekspor impor Indonesia tidak efektif dikarenakan harga pengiriman yang tinggi.
"Dalam negeri, logistik kita tidak terlalu efesien, bukan hanya itu, kita kalah efisien," katanya dalam Rapat Kerja Kementerian Perdagangan di Jakarta, Rabu (31/1/2018).
Dia mengatakan rasio biaya logistik terhadap Produk Domestik Bruto Indonesia sebesar 24%, atau kalah dibandingkan dengan negara lain yang hanya di bawah 15%.
Adapun menurut catatan Bisnis, rasio biaya logistik terhadap produk domestik bruto (PDB) Indonesia memperlihatkan penurunan yang landai dalam periode 2013-2017, rasio turun 2,2% dari 25,7% pada 2013 menjadi 23,5% pada 2017.
Selain itu, Darmin mengatakan model perjanjian transaksi yang diterapkan eksportir dan importir Indonesia kurang strategis. "Eksportir kita menerapkan Free on Board [FOB] dan Importir kita menerapkan Cost, Insurance and Freight [CIF]," katanya.
Artinya, barang impor akan cenderung lebih murah karena semua sudah ditanggung penjual, sedangkan produk kita akan mahal di negara tujuan, yang membuat produk Indonesia tidak kompetitif di luar negeri.
Adapun biaya logistik yang tinggi merupakan catatan dalam laporan Neraca Pembayaran Indonesia triwulan III/2017.
Defisit neraca jasa pada triwulan III/2017 tercatat sebesar US$2,2 miliar, dan jasa tansportasi yang merupakan komponen penyumbang defisit neraca jasa terbesar mencatat defisit yang meningkat pada triwulan III/2017.
Peningkatan defisit tersebut terutama karena naiknya pembayaran jasa muatan sejalan dengan meningkatnya impor barang. Sementara itu, jika melihat Logistic Performance Index, Indonesia menempati peringkat 63, tertinggal dari negara Afrika Rwanda dan Tanzania.
Adapun dalam index tersebut memberikan rekomendasi agar bea cukai, infrastruktur, dan pengiriman internasional Indonesia harus diperbaiki.