Bisnis.com, JAKARTA - Hasil penelitian pertanian jagung di sejumlah wilayah di Indonesia oleh Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) menunjukkan program distribusi benih jagung Upaya Khusus (Upsus) tidak efektif dan perlu dievaluasi.
Penelitian dilakukan di dua kabupaten berbeda yakni di dua puluh kecamatan di Sumenep, Jawa Timur dan delapan kecamatan di Dompu, Nusa Tenggara Barat. Adapun sejumlah hal yang memerlukan evaluasi dalam pelaksanaa UPSUS yang ditemukan selama penelitian di dua kabupaten berbeda tersebut meliputi kualitas benih, kriteria penerima, dan efektivitas program itu sendiri.
“Ada beberapa hal dari mekanisme distribusi benih jagung Upsus yang harus diperbaiki. Berdasarkan penelitian CIPS, distribusi benih jagung Upsus tidak menjawab permasalahan petani karena di beberapa daerah di Indonesia petani jagung sudah tergolong mandiri dalam masalah perbenihan,” kata Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Imelda Freddy, Selasa (24/7/2018).
Adapun petani mandiri yang dimaksud dalam penelitian ini adalah para petani sudah mampu membeli benih jagungnya sendiri walaupun harganya terbilang lebih mahal. Menurut Imelda, petani yang telah mampu secara mandiri membeli benih dan menghasilkan produk berkualitas tinggi serta memiliki pasar yang luas seharusnya tidak lagi mendapatkan bantuan benih.
“Ketakutannya adalah, petani yang sebenarnya mereka sudah mampu secara finansial tetap bergantung dengan benih yang diberikan pemerintah,” katanya.
Selain hal ini, ada pula kekhawatiran lain bahwa program Upsus yang disalurkan menjadi sia-sia karena seperti petani mandiri yang ada di Dompu, mereka lebih memilih tetap menggunakan benih yang diperoleh secara mandiri ketimbang bantuan benih dari pemerintah.
Hal lain yang perlu menjadi sorotan dalam program ini adalah teknik budi daya dalam menanam jagung. Menurut Imelda, sekalipun benih yang didistribusikan berkualitas baik, jika petani belum menerapkan pola tanam yang benar, maka hasil yang diperoleh berpotensi tidak maksimal.
Di samping itu, ada pula kualitas benih yang perlu diperhatikan. Pasalnya, dalam penelitian yang dilakukan di Dompu dan Sumenep, para petani disebut sering menerima benih subsidi dengan kualitas rendah, sudah berjamur, dan memasuki masa kedaluarsa hingga bantuan dari pemerintah tidak berdampak signifikan.
Terkait tiga temuan ini, CIPS pun memberi sejumlah rekomendasi untuk program Upsus oleh pemerintah agar bisa memberikan hasil maksimal.
Pertama, pemerintah diminta memastikan kualitas benih subsidi yang didistribusikan dalam keadaan baik dan masih jauh dari masa kedaluarsa.
Kedua, pemerintah juga diminta merevisi Peraturan Menteri Pertanian (Permentan) nomor 3 tahun 2015 dengan menambahkan klasifikasi pasar penerima bantuan Upsus ke dalam tiga jenis. Masing-masing klasifikasi pasar juga harus mendapatkan perlakuan yang disesuaikan dengan kondisinya.
Adapun, kategori pasar yang direkomendasikan yakni pasar lemah, semi kuat, dan kuat. Pasar lemah adalah daerah dengan jumlah petani jagung yang sangat sedikit da hanya menanam benih jagung tradisional. Selain itu, hampir tidak ada pelaku pasar jagung di daerah tersebut dan kebanyakan lahan digunakan untuk komoditas lain yang permintaannya lebih banyak.
Untuk pasar ini, menurut Imelda, Upsus untuk komoditas jagung sebaiknya tidak diberlakukan untuk sementara. Pemerintah diminta melakukan analisis potensi pasar untuk mengetahui apakah komoditas ini bisa berkembang atau tidak.
Jika pada akhirnya daerah ini memang tidak berpotensi sebagai daerah pengembangan komoditas jagung, akan lebih baik pemerintah fokus di komoditas lain yang memang bisa dikembangkan dan memiliki pasar menjanjikan.
Adapun pasar semi kuat adalah daerah di mana mayoritas petani masih menanam jagung secara tradisional dan kurang dari setengahnya memiliki pengalaman dalam menanam jagung hibrida. Pada daerah ini,value chain jagung sudah terbentuk tetapi sistem pasar masih kurang kompeitif karena pelaku pasar jagung masih terbatas.
Daerah ini, menurut Imelda merupakan daerah yang layak dan perlu masuk dalam Upsus. Namun, implementasi Upsus di daerah ini harus disertai dengan adanya evaluasi berkala dan diikuti dengan adanya peningkatan kapasistas untuk petani.
Sementara itu, pasar kuat adalah di mana para petani jagung dikategorikan sebagai petani komersial dan memiliki pasar jagung yang kuat. Untuk daerah ini, Imelda menyarankan agar Upsus sebaiknya dihentikan agar petani jagung menjadi lebih mandiri dan lebih berkembang karena adanya keterlibatan sektor swasta.
“Salah satu hal yang harus dijadikan evaluasi oleh pemerintah adalah program ini harus memiliki kriteria penerima bantuan yang tepat dan ketat. Petani yang layak menerima bantuan benih Upsus adalah mereka yang berada di tingkat semi kuat, yaitu petani yang memiliki potensi dan kemampuan untuk menanam jagung, namun masih membutuhkan peningkatan kapasitas untuk teknik budidaya,” ungkapnya.
Adapun, rekomendasi ketiga yang diberikan berdasarkan temuan dalam penelitian ini yakni revisi panduan teknis budidaya jagung agar alojasi distribusi tidak didasarkan pada kuota produsen.
“Kementan menetapkan alokasi distribusi benih adalah 65% untuk benih produksi pemerintah (Balitbangtan dan produsen lain yang sudah mendapatkan lisensi Balitbangtan) dan 35% untuk benih produksi perusahaan swasta,” kata Imelda.
Selain itu, pemerintah juga diminta membuat mekanisme permintaan varietas benih agar benih yang dibagikan sesuai dengan kebutuhan petani. Dengan adanya mekanisme ini, lanjut Imelda, diharapkan ada kerjasama dengan pihak swasta sebagai penyedia benih.