Bisnis.com, JAKARTA – Kementerian Pertanian menegaskan kenaikan harga jagung tidak mengindikasikan adanya masalah produksi.
Direktur Jenderal Tanaman Pangan Kementerian Pertanian Sumardjo Gatot Irianto mengatakan kalau produksi jagung tahun ini sangat menjanjikan karena keran impornya ditutup dan pemerintah juga mendorong penambahan areal tanam baru.
Gatot mengatakan berdasarkan Angka Ramalan I produksi jagung untuk sementara catatan Kementan adalah 28 juta ton.
“Jadi yang belum pernah menanam jagung akan mendapatkan bantuan, setelah itu sudah tahu menanam jagung itu gurih maka dia akan menanam lagi,” katanya pada Selasa (25/9/2018).
Menurutnya pun sejauh ini pasokan komoditas bahan baku pakan unggas itu mencukupi kebutuhan pasar. Sementara itu, harga jagung di pasaran tidak semata-mata hanya bertumpu pada jumlah pasokan tapi juga pada distribusi panen.
“Kalau panen di Maluku atau panen di Sulawesi tentu berebeda dengan panen Jawa karena ada aspek logistiknya. Kemudian kalau panen di daerah agak remote untuk pengeringannya agak susah. Makanya tahun ini pengering itu kita 1.000 pengering multifungsi supaya menolong aspek pascapanen,” pungkasnya.
Berdasarkan data dari Kementan, jumlah produksi jagung nasional mengalami peningkatan pada periode 2013 sampai 2017. Pada 2013, jumlah produksi jagung nasional adalah 18,5 juta ton dan meningkat menjadi 19 juta ton dan 19,6 juta ton pada 2014 dan 2015. Pada 2016 dan 2017 jumlahnya menjadi 19,7 juta ton dan 20 juta ton.
Jumlah jagung yang diimpor Indonesia terus mengalami penurunan. Indonesia mengimpor 3,19 juta ton jagung pada 2013 dan 3,18 juta ton pada 2014. Sementara itu, pada 2015, 2016 dan 2017 jumlahnya impornya adalah3,5 juta ton, 1,3 juta ton dan 500.000 ton. Penurunan jumlah impor yang dimaksudkan untuk melindungi petani jagung nasional justru tidak efektif untuk menjaga kestabilan harga.
Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Imelda Freddy menilai target produksi jagung nasional sebesar 30 juta ton pada 2018 tidak realistis.
Pasalnya, pemerintah menghitung proyeksi ini hanya didasarkan pada potensi benih jagung yang dikalikan luas lahan. Padahal terdapat variabel lainnya yang tidak diikutsertakan yaitu produksi panen yang tercecer saat proses distribusi atau pengangkutan dan produksi panen yang tidak memenuhi standar atau busuk.
“Selain itu, angka ini akan sulit dicapai karena mesin pengering masih jarang ditemui di desa-desa penghasil jagung. Dengan adanya mesin pengering, petani tidak perlu mengeringkan jagung di bawah terik matahari, mesin pengering juga akan sangat membantu petani saat musim hujan,” jelas Imelda pada Selasa (25/9).
Imelda pun ikut menyoroti dampak dari kurangnya suplai jagung ke pasaran. Akibat dari kurangnya suplai jagung tercermin dari tingginya harga jagung yang bisa membuat para pengusaha pakan ternak beralih dari jagung sebagai komponen utama pakan ternak. Hal ini tentu akan berakibat buruk kepada para petani jagung karena hasil produksi mereka tidak diserap oleh pasar.
Harga jagung di daerah Jawa saat ini disebut berada di kisaran Rp3.900—Rp4.000 per kg. Padahal, berdasarkan Permendag No. 58 tahun 2018 tentang Penetapan Harga Acuan di Petani dan Harga Acuan di Konsumen, jagung dengan kadar air 15% ditetapkan Rp3.150/kg, sedangkan harga acuan di konsumen Rp4.000/kg.
Adapun, jagung kadar air 20% dijual Rp 3.050 per kg, jagung kadar air 25% Rp 2.850 per kg, jagung kadar air 30% Rp 2.750 per kg dan jagung kadar air 35% Rp 2.500 per kg.