Bisnis.com, JAKARTA – Payung hukum ketenagakerjaan yang dinilai kurang fleksibel menjadi hambatan bagi iklim investasi, khususnya di sektor manufaktur di Tanah Air.
Kepala Ekonom PT Bank Mandiri Tbk. Anton Gunawan menuturkan pasar tenaga kerja yang kurang efisien sebenarnya menjadi masalah bukan hanya bagi perusahaan manufaktur yang luar negeri, tetapi juga dalam negeri, untuk mengembangkan usaha di dalam negeri.
"Salah satu yang menjadi masalah adalah tingginya severance pay atau pesangon dan ini ada di UU Ketenagakerjaan," ujar Anton di dalam peluncuran laporan ADB dan Bappenas, Jumat (8/8).
Pasal 156 ayat 2 UU Ketenagakerjaan No.13/2003 mengatur jumlah uang pesangon terhadap pegawai yang mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK) hingga 18 kali gaji atau lebih. Kisaran sebenarnya 1 kali gaji hingga 9 kali gaji. Namun, jumlah tersebut harus dikali dua, sehingga nilainya cukup besar. Perhitungan ini belum termasuk uang penghargaan selama masa kerja.
Menurutnya, aturan ini harus ditinjau ulang jika pemerintah serius ingin mendorong investasi dan pengembangan sektor manufaktur.
Salah satu solusinya adalah tunjangan hari tua di dalam BPJS Tenaga Kerja. Anton menilai tunjangan hari tua ini seharusnya bisa lebih fleksibel untuk ditarik jika tenaga kerja mengalami PHK.
Solusi lain, jumlah pesangon bisa diturunkan, tetapi perusahaan harus membentuk asuransi PHK yang pembayarannya bisa dicicil.
Selain masalah pesangon, dia menilai perbaikan di payung hukum ini juga diperlukan untuk melindungi calon pekerja. Anton mengungkapkan calon pekerja atau pegawai kontrak ini selama ini belum terlindungi.
Isu revisi UU Ketenagakerjaan ini sebenarnya sudah sering dipaparkan. Mantan menteri keuangan dan kepala BKPM Chatib Basri menuturkan ada dua penyebab utama yang membuat kontribusi ekspor manufaktur terhadap PDB Indonesia menurun sejak 2002.
Pertama, fenomena Dutch disease atau fenomena ekonomi yang biasanya ditimbulkan oleh berlimpahnya sumber daya alam di suatu negara. Menurut Chatib, banyak investasi yang beralih dari sektor manufaktur ke sektor pertambangan saat booming komoditas beberapa tahun lalu.
Kedua, Indonesia memperkenalkan UU Ketenagakerjaan pada 2003. Idenya sangat baik karena pemerintah ingin memproteksi tenaga kerja pada 2003.
"Indonesia adalah negara dengan pembayaran pesangon terbesar di dunia. Jumlahnya bisa 24-32 kali gaji, sehingga ini seperti pajak yang tersembunyi," kata Chatib dalam dialog yang diadakan oleh Lee Kuan Yew University, Minggu lalu (31/1).
Akibat dua faktor ini, banyak investasi yang seharusnya dibenamkan ke sektor manufaktur yang padat karya beralih ke sektor padat modal dan pertambahan.
Oleh sebab itu, daya saing sektor manufaktur Indonesia kalah dibandingkan Thailand dan Vietnam.
Laporan Asian Development Bank (ADB) dan Bappenas berjudul Policies To Support The Development of Indonesia's Manufacturing Sector During 2020-2024 yang dirilis, Jumat (8/2), tidak secara jelas merekomendasikan revisi UU Ketenagakerjaan.
Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/ Kepala Bappenas Bambang P.S. Brodonegoro menuturkan laporan ini sebenarnya lebih menitik beratkan kepada upaya untuk mendorong produktivitas dalam mendorong pengembangan industri manufaktur.
Dia menilai sektor manufaktur yang sudah produktif di dalam negeri cenderung tidak mempermasalahkan UU Ketenagakerjaan.
"Karena upahnya sudah di atas UMR jadi sudah memadai, kenapa? Karena produktivitasnya tinggi," ujar Bambang dalam konferensi pers, Jumat (8/2).
Dia menambahkan fokus yang terkait dalam laporan ini adalah upaya meningkatkan keterampilan pekerja agar memiliki tingkat kemampuan yang menegah ke atas. 90% tenaga kerja di Indonesia masih masuk kategori kelompok tenaga kerja berketerampilan rendah atau low-skill.