Menurutnya, desain fisik ratusan PLB saat ini yang luasannya hanya kisaran 500—2000 meter persegi memang memungkinkan terjadinya pelanggaran pelanggaran. Hal itu karena tidak adanya petugas Bea Cukai yang ditempatkan di sana lantaran keterbatasan personel.
“Saat PLB mulai menjamur, kami melihat itu bakal menjadi sumber masalah baru. Tadinya, PLB ini solusi untuk dwelling time, tetapi sebetulnya solusi ini juga penyakit, alias penyembuhan satu penyakit dengan memasukkan penyakit baru,” ujarnya.
Menurutnya, dari sisi pengawasan sebenarnya lebih aman di kawasan berikat daripada di PLB, sehingga sebaiknya pemerintah lebih memaksimalkan kawasan berikat. Sementara itu di PLB, lanjutnya, siapa yang bisa menjamin barang-barang sampai di pabrik dengan benar dan 100% barang tersebut sama dengan yang tertera di dokumen.
Pakar Kemaritiman ITS Surabaya Saut Gurning menilai bahwa saat ini ada fenomena tak lazim terkait dengan semakin tidak seimbangnya manfaat PLB dan cenderung menguntungkan importir.
“Yang salah bukan kegiatan importasinya. Namun, seperti akibat kurangnya kegiatan nilai tambah , hingga kegiatan industrialisasi di wilayah atau zona PLB,” ujarnya kepada Bisnis.
Atas hal itu, PLB akhirnya lebih banyak dimanfaatkan sebagai wilayah pabean yang memberi keuntungan fiskal bagi importir, daripada membangkitkan berbagai kegiatan ekonomi yang menciptakan lapangan kerja, turunan bisnis serta akumulasi investasi, pajak hingga penerimaan lokal lainnya.