Bisnis.com, JAKARTA - Ombudsman Republik Indonesia menyebut ada banyak hal yang perlu diperbaiki dalam sistem penerimaaan Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) 2019 yang akan dimulai pada dalam waktu dekat.
Diketahui, pendaftaran untuk penerimaan CPNS 2019 akan berlangsung mulai 11 November 2019 secara daring. Pendaftaran CPNS tahun ini terintegrasi secara nasional lewat portal Sistem Seleksi Calon Aparatur Sipil Negara (SSCASN), sscasn.bkn.go.id.
Anggota Ombudsman RI Laode Ida mengatakan sebagai koordinasi awal pihaknya telah mengundang Kementerian Pemberdayaan Aparatur Negara Reformasi Birokrasi, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, dan Badan Kepegawaian Negara (BKN) untuk menyampaikan beberapa temuan hasil pengawasan tahun lalu serta laporan atau pengaduan yang masuk dari masyarakat terkait dengan penerimaan CPNS selama beberapa tahun terakhir.
Dengan jumlah alokasi formasi yang lebih banyak dibandingkan tahun lalu, menurut Laode, laporan atau pengaduan yang masuk kemungkinan akan melonjak. Untuk itu, dia mendesak agar masing-masing instansi yang membuka formasinya untuk mengoptimalkan fungsi layanan bantuan atau help desk agar tak lagi sekadar formalitas belaka.
“Kami ingin agar masing-masing instansi punya internal complain handling yang sifatnya ad hoc. Karena pada saat proses penerimaan CPNS sebelumnya masing-masing instansi hanya membuat help desk yang sifatnya umum untuk formalitas saja. Ketika ada laporan yang masuk [ke help desk] ujungnya tidak ada jawaban, [pelapor] hanya diminta menunggu,” kata Laode dalam konferensi pers yang digelar di Jakarta, Rabu, (6/11/2019).
Sebagai catatan, pada tahun ini pemerintah membuka sebanyak 197.111 formasi CPNS untuk 68 kementerian atau lembaga dan 461 pemerintah daerah tingkat provinsi maupun kabupaten atau kota.
Selain permasalahan help desk yang fungsinya tidak optimal di masing-masing instansi, Laode menyebut masih banyak permasalahan lain yang selama ini terjadi pada proses penerimaan CPNS khususnya permasalahan teknis yang menurutnya sepele, tetapi fatal akibatnya bagi peserta.
Permasalahan yang dimaksud diantaranya adalah persyaratan yang tidak jelas atau membingungkan. Laode menilai beberapa persyaratan yang diminta oleh instansi penyelenggara seringkali multitafsir, misalnya terkait dengan syarat tanggal lahir, akreditasi yang dipergunakan, hingga nomenklatur atau rumpun keilmuan.
“Petugas yang ada di lapangan yang melakukan seleksi administrasi akhirnya melakukan interpretasi sendiri yang berbeda-beda dan akhirnya merugikan peserta. Contohnya untuk nomenklatur atau rumpun keilmuan yang berbeda-beda di tiap perguruan tinggi. Di persyaratan misalnya yang diminta lulusan S1 Administrasi Publik yang akhirnya membuat lulusan S1 Administrasi Negara akhirnya tidak lolos karena tidak sesuai. Padahal, itu hanya berbeda nama saja. Belum lagi ada permasalahan sepele seperti formasi penghulu yang wanita bisa mendaftar dan akhirnya dianulir di tengah jalan, ini kan merugikan."
Kemudian, Laode menilai seharusnya perlu ada kejelasan terkait dengan akreditasi yang digunakan sebagai persyaratan pendaftaran. Apakah itu akreditasi kampus atau akreditasi yang lebih spesifik seperti akreditasi jurusan atau program studi dari peserta yang bersangkutan.
Selain itu, perlu dipertimbangkan juga bagaimana nasib peserta yang kampusnya sudah mengajukan visitasi akreditasi ke Badan Akreditasi Nasional-Perguruan Tinggi (BAN-PT) namun tak kunjung diproses sehingga kemudian ijazahnya tak terakreditasi.
“Perlu dijelaskan juga dalam persyaratan, akreditasi yang digunakan itu apakah ketika mendaftar masuk atau saat lulus. Karena ini akan jadi masalah juga, akreditasi saat masuk dan lulus ada kemungkinan berbeda,” tegasnya.
Selain permasalahan persyaratan, Laode menjelaskan ada beberapa permasalahan teknis yang berulang kali dihadapi oleh peserta penerimaan CPNS, antara lain keharusan pengiriman berkas ke instasi penyelenggara, kartu ujian yang tidak bisa dicetak, hingga ketidaksesuaian antara Nomor Induk Kependudukan (NIK) dan nomor Kartu Keluarga (KK) peserta.
“Permasalahan pengiriman berkas ke instansi penyelenggara, apabila sudah dipindai dan diunggah ke situs SSCN-BKN seharusnya tidak perlu lagi ada pengiriman ke instansi penyelenggara. Tahapan ini mubazir karena dokumen tersebut seharusnya cukup dipindai dan diverifikasi berdasarkan hasil pindai itu,” pungkasnya.
Laode menambahkan pada tahun lalu, terdapat 2.000 laporan atau pengaduan yang masuk ke Ombudsman RI terkait dengan penerimaan CPNS. Adapun instansi penyelenggara yang paling banyak mendapatkan laporan atau pengaduan adalah Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) untuk kementerian dan lembaga serta Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta untuk pemerintah daerah.