Bisnis.com, JAKARTA – Tambang mineral dan batu bara dinilai mesti dimanfaatkan secara optimal untuk meningkatkan nilai tambah bukan terpaku pada penerimaan negara atau royalti semata.
Direktur Centre for Indonesian Resources Strategic Studies (CIRUSS) Budi Santoso mengatakan royalti minerba hanya sebesar Rp45 triliun atau kalah jauh dibandingkan dengan pendapatan negara dari cukai rokok yang sebesar Rp125 triliun.
Apalagi, sektor pertambangan memiliki batasan keekonomian sehingga tidak akan mampu memakmurkan bangsa jika hanya dilihat berdasarkan keuntungan dari royalti semata.
Setidaknya, jika sektor pertambangan dioptimalkan untuk peningkatan nilai tambah, akan memberikan keuntungan yang lebih berlipat yakni mencapai Rp700 triliun apabila dikombinasikan dengan energi seperti listrik dari PLN maupun infrastruktur.
"Kalau hanya Rp45 triliun [fokus ke royalti] mending tutup saja, bangun pabrik rokok. Jangan dilihat cuma royalti saja, yang penting bagimana caranya minerba tadi bisa meningkatkan pendapatan rakyatnya," katanya, Kamis (26/12/2019).
Budi mengatakan selama ini pengelolaan sumber daya minerba Indonesia mengacu pada Australia. Padahal kondisi kedua negara tersebut berbeda satu sama lain.
Australia misalnya, memiliki jumlah penduduk 1/10 yang dimiliki Indonesia dan sumber daya alam yang besar sehingga negara tersebut melakukan ekspor besar-besaran. Indonesia memiliki kondisi sebaliknya, sumber daya alam tersebar dan jumlah penduduk yang besar sehingga tidak bisa terus melakukan ekspor semata.
Di satu sisi, seiring dengan pertambahan jumlah penduduk, ketergantungan akan sumber daya terutama mineral akan semakin tinggi. Jika Indonesia tidak mampu mengelola dengan baik sumber daya yang ada, akan semakin merugikan negara.
Indonesia selama ini memikiki orientasi ekspor yang tinggi di sektor minerba. Padahal, apabila dibandingkan dengan impor migas yang dilakukan justru banyak kerugian dialami Indonesia.
Setidaknya 1 ton batu bara yang diekspor Indonesia memiliki nilai US$65. Satu ton batu bara yang diekspor tersebut setara dengan impor minyak 4 barrel oil per day (BOPD) yang dilakukan Indonesia. Artinya, dibandingkan mengekspor US$65/ton batu bara, Indonesia justru mengimpor 4 kali lipat nilai tersebut. "Kalau ini terjadi ekspor besar-besaran batu bara, sudah kekurangan gizi energi," katanya.
Selain itu, Budi menilai, hilirisasi batu bara dengan proyek gasifikasi atau Dimethyl Ether (DME) berpotensi tidak akan berjalan dengan baik. Pasalnya, DME tidak ekonomis sama sekali.
Menurutnya lantaran kondisi-kondisi tersebut, pemerintah harus menetapkan Kebijakan Nasional Mineral dan Batubara Nasional sebelum menyelesaikan Rencana Perubahan UU Minerba Nomor 4 tahun 2019.