Bisnis.com, JAKARTA — Tak banyak perubahan yang hadir dalam Undang-Undang Omnibus Law terkait dengan sektor minyak dan gas bumi sehingga revisi Undang-Undang Migas sangat dinantikan.
Direktur Executive Energy Watch Mamit Setiawan menilai secara umum tidak ada perubahan yang berarti untuk pengaturan usaha hulu migas di UU Omnibus Law, terutama setelah pasal-pasal terkait dengan pembentukan badan usaha milik negara khusus dikeluarkan dari pembahasan.
Dia menuturkan bahwa perubahan hanya terjadi terkait dengan definisi-definisi seperti pada Pasal 1 ayat 21 dan ayat 22 dalam UU Nomor 22 Tahun 2001.
Jika melihat minimnya pengaturan pasal-pasal terkait dengan usaha hulu migas dalam UU Omnibus Law Cipta Kerja, penyelesaian revisi UU Migas perlu diprioritaskan.
"Saya berharap pemerintah dan DPR tidak melupakan kewajibannya untuk menindaklanjuti keputusan MK [Mahkamah Konstitusi] pada 2012 dan segera memprioritaskan penyelesaian revisi UU Migassehingga industri migas memiliki kepastian dalam melaksanakan kegiatan usahanya, termasuk status dari SKK Migas," katanya kepada Bisnis, Rabu (7/10/2020).
Pasalnya, pembentukan BUMN Khusus bisa memberi kepastian lebih kepada investor mengingat posisi SKK Migas saat ini yang hanya sementara.
Baca Juga
Dia menilai bahwa yang dibutuhkan para investor adalah kepastian posisi dari badan pelaksana hulu migas tersebut nantinya sehingga tidak terlalu bergantung pada bentuknya.
"Jadi, tidak dalam posisi sementara saat ini di mana investor masih khawatir juga terjadi apa-apa," ungkapnya.
Sementara itu, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Arifin Tasrif mengatakan bahwa tidak banyak perubahaan yang dilakukan pada klaster migas dalam UU Omnibus Law Cipta Kerja.
Dia menuturkan, perubahaan secara mendetil baru akan dibahas dalam revisi RUU Migas.
"Klaster migas masih tetap mengacu UU No. 22 Tahun 2001 di mana perincian lanjutnya akan dibahas dalam Rancangan UU Migas yang akan dimulai 2021," katanya dalam konferensi pers yang digelar pada Rabu (7/10/2020).