Bisnis.com, JAKARTA—Pemerintah menegaskan pelaksanaan pertambangan di Indonesia sejalan dengan perlindungan lingkungan hidup. Hal itu dapat ditunjukan dengan adanya aturan reklamasi sebagai salah satu syarat perizinan pengoperasian.
Direktur Pembinaan Pengusahaan Batu Bara Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Sujatmiko mengatakan bahwa aturan perbaikan atau penataan ulang fungsi lahan bekas tambang sudah ada sejak penambangan yang dilakukan oleh PT Freeport Indonesia.
“Tambang kita ini sesungguhnya sejak awal dibangun 1967 sudah sangat perhatian kepada reklamasi atau pengelolaan lingkungan,” kata Sujatmiko, dikutip dari siaran pers, Minggu (11/7/2021).
Selanjutnya, kata dia, norma pengaturan lingkungan pertambangan ini berevolusi mengatur tentang sanksi administratif dan pidana melalui Peraturan Pemerintah Nomor 10 Nomor 78/2010 tentang Reklamasi dan Pascatambang.
Kemudian juga ada Peraturan Menteri ESDM Nomor 7/2014 tentang Pelaksanaan Reklamasi dan Pascatambang pada Kegiatan Usaha Pertambangan Minerba.
Terkini, Undang-undang Nomor 3/2020 tentang Perubahan UU Nomor 4/2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara.
“Kalau dulu pelaku usaha tambang tidak patuh, tidak ada sanksi pidana. Sejak 2020, bagi mereka yang tidak mereklamasi, di samping ada denda dan pencabutan izin, juga dapat dikenakan sanksi pidana,” jelas Sujatmiko.
Menurutnya, prinsip dasar reklamasi selalu terintegrasi pada semua tahap pertambangan dari eksplorasi sampai pascatambang. Setiap pertambangan yang tidak memiliki perencanaan reklamasi yang terintegrasi dengan pemerintah, maka Ditjen Minerba tidak akan mengeluarkan izin untuk beroperasi.
Dalam paparannya, Sujatmiko menuturkan, pelaksanaan reklamasi harus dilakukan sesuai komitmen dalam dokumen lingkungan yang penyusunannya melibatkan para pemangku kepentingan.
Nantinya, reklamasi dilakukan pada area terganggu, meliputi lahan bekas eksplorasi, lahan bekas tambang, lahan bekas timbunan, dan lahan bekas fasilitas penunjang, termasuk di dalamnya kegiatan pengelolaan air tambang (limpasan permukaan dan limbah), khususnya pengendalian erosi dan sedimentasi.
Sujatmiko juga tak menampik selama kegiatan operasi produksi pertambangan terdapat lahan yang terganggu. Namun seiring adanya reklamasi, maka akan mengurai permasalahan tersebut.
“Tutupan vegatasi setelah pascatambang lebih baik dari sebelum tambang,” imbuhnya.
Dari 10,83 juta hektare wilayah tambang di Indonesia yang memperoleh izin usaha, pemerintah hanya membolehkan 248,6 ribu hektare yang dibuka untuk kegiatan pertambangan.
“Lahan yang dibuka untuk operasional tambang hanya 2,2 persen dari total wilayah yang mendapatkan izin, dan sepertiganya sudah direklamasi,” kata Sujatmiko.
Beberapa contoh keberhasilan reklamasi adalah pemanfaatan area bekas tambang di PT Timah Tbk. yang dijadikan sebagai wisata agro-edutourism melalui kampoeng reklamasi air jangkang. Adapula, peruntukan revegetasi yang dilakukan oleh PT Newmont Minahasa menjadi kebun raya.
“Bahkan Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup mengesahkannya sebagai hutan yang jauh lebih baik dibandingkan dengan sebelum ditambang,” jelasnya