Bisnis.com, JAKARTA — Outlook neraca perdagangan barang tahun 2022 diproyeksi surplus US$19,1 miliar hingga US$19,6 miliar. Proyeksi itu turun drastis daripada torehan neraca dagang sepanjang Januari hingga Oktober 2021 yang mencapai US$30,81 miliar.
Kepala Badan Pengkajian dan Pengembangan Perdagangan (BP3) Kemendag Kasan Muhri mengatakan proyeksi itu bakal dipengaruhi oleh sejumlah isu perdagangan internasional yang relatif berbeda dari tahun ini. Misalkan, Kasan mencontohkan, isu perdagangan dan emisi karbon bakal memengaruhi sejumlah kebijakan perdagangan yang belakangan memengaruhi daya saing produk ekspor Indonesia.
“Kebijakan perdagangan karbon yang akan ditempuh oleh berbagai negara salah satunya Uni Eropa pasti akan memengaruhi daya saing produk-produk ekspor kita yang ada kaitan dengan karbon. Ini yang menjadi catatan kita,” kata Kasan saat memberi keterangan dalam Seminar Proyeksi Ekonomi Indonesia 2022 Indef, Rabu (24/11/2021).
Isu emisi karbon itu, Kasan menambahkan, bakal mengundang sejumlah negara menerapkan pembatasan perdagangan melalui kebijakan tariff barrier dan non-tariff barrier. Manuver itu dinilai bakal memengaruhi secara langsung kinerja ekspor dan impor dalam negeri.
Kendati demikian, dia menggarisbawahi, faktor penentu yang bakal memengaruhi neraca dagang Indonesia nantinya berkaitan dengan siklus komoditas. Dia mengatakan momentum siklus komoditas itu tidak bakal berlangsung dalam jangka waktu yang panjang atau permanen di tengah pandemi Covid-19.
“Kita menyadari fenomena ini tidak akan permanen. Dengan demikian, kenaikan harga komoditas yang berimbas pada ekspor tidak akan permanen,” tuturnya.
Baca Juga
Kementerian Perdagangan memproyeksikan pertumbuhan ekspor riil barang dan jasa naik mencapai 4,16 persen pada tahun 2022. Adapun pertumbuhan ekspor non-migas diproyeksikan dapat mencapai 5,40 persen hingga 4,79 persen. Sementara rasio ekspor jasa terhadap produk domestik bruto (PDB) Indonesia mencapai 1,5 persen.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat surplus neraca perdagangan Indonesia secara kumulatif atau mulai Januari hingga Oktober 2021 mencapai US$30,81 miliar. Hingga Oktober 2021, total nilai ekspor Indonesia tercatat mencapai US$186,32 miliar atau tumbuh 41,8 persen dibandingkan dengan periode yang sama pada tahun lalu.
Berdasarkan sektor, kontribusi tertinggi berasal dari ekspor industri pengolahan, dengan nilai sebesar US$143,76 miliar atau tumbuh sebesar 35,53 persen dibandingkan periode yang sama pada 2020. Di samping itu, sektor lainnya yang mencatatkan pertumbuhan tinggi, yaitu sektor pertambangan dan migas, masing-masingnya naik sebesar 87,70 persen dan 52,24 persen.
Sementara itu, BPS mencatat total nilai impor pada periode Januari hingga Oktober 2021 mencapai US$155,51 miliar, meningkat 35,86 persen dibandingkan periode yang sama tahun lalu. Berdasarkan penggunaan barangnya, barang konsumsi tercatat mengalami peningkatan sebesar 34,81 persen.
Sebelumnya, peneliti Center of Industry, Trade, and Investment Indef Ahmad Heri Firdaus meminta pemerintah untuk tetap memprioritaskan penghiliran sejumlah komoditas unggulan ekspor sebagai bahan baku industri dalam negeri sebelum supercycle berakhir.
“Pemerintah perlu membuat kebijakan bagaimana menyerap produk-produk komoditas unggulan kita untuk industri dalam negeri sebagai bahan baku,” kata Heri.
Menurutnya, dampak lain dari surplus neraca perdagangan adalah kuatnya nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS). Konsekuensinya, barang impor relatif lebih murah saat rupiah kuat.
“[Hal] yang jadi masalah adalah kalau impornya itu adalah barang konsumsi yang tadinya kita mau bikin sendiri dalam negeri tapi kita lihat di luar murah mending impor saja jadi ini yang mesti diwaspadai,” tuturnya.
Dengan demikian, pengendalian impor barang konsumsi sembari mengoptimalkan hilirisasi bahan baku mesti diambil pemerintah untuk menjaga tren surplus neraca perdagangan.