Bisnis com, JAKARTA - Konflik Rusia dengan Ukraina disebut ikut mendorong terjadinya kenaikan biaya pengapalan atau freight rise. Meskipun demikian, konflik geopolitik tersebut bukan menjadi satu-satunya penyebab.
Direktur Utama PT Samudera Indonesia Tbk. Bani Maulana Mulia mengatakan saat ini isu krisis supply chain terjadi secara global pascapandemi. Menurutnya, inti dari krisis pasokan barang ini adalah tingkat freight rise atau kenaikan biaya pengangkutan yang sangat tinggi di hampir seluruh sektor pelayaran dan area lain di dunia.
Menurutnya pada tahun ini, tarif pengapalan sudah naik dari awal tahun sebesar 32 persen, dan trennya masih terus naik.
"Konflik Rusia - Ukraina ikut mendorong terjadinya freight rise, meskipun bukan menjadi satu-satunya penyebab," ujarnya, Minggu (10/4/2022).
Selain konflik, tentu freight rise juga terjadi akibat situasi pandemi dan faktor fenomena cuaca yang memengaruhi produk pangan dan kenaikan harga komoditas.
Faktor pendorong freight rise yang juga amat besar adalah pemulihan perdagangan di China. Permintaan yang amat tinggi dari negara-negara di Amerika Utara terhadap produk dari China mengakibatkan kapal-kapal domestik Indonesia pun tersedot untuk melayani pelayaran ke kawasan tersebut.
Baca Juga
Bahkan, dia mengatakan terdapat sejumlah komplain dari perusahaan, karena harga yang tinggi atau tidak mendapat tempat untuk pengangkutan logistik.
Dia menegaskan bahwa persoalan freight rise merupakan imbas yang terjadi secara global dan tidak bisa dihindari, karena biaya pengangkutan barang sangat tinggi. Saat ini pelaku usaha tidak bisa mendapatkan kapal yang biaya perjalanannya murah dan hampir tidak ada kapal yang menganggur.
"Terkait konflik Rusia - Ukraina, kapal-kapal yang tadinya melayani area itu mengalami sedikit relaksasi dan bisa mencari area pengangkutan lain," imbuhnya.
Bani memprediksikan, fenomena freight rise akan terus berlangsung hingga akhir tahun 2022, meskipun fluktuasi itu biasa terjadi di sektor pelayaran.
Secara umum, Bani menilai dari segi logistik, imbas konflik antara Rusia dan Ukraina tidak terlalu signifikan di Indonesia.
Kondisi tersebut dikarenakan nilai ekspor dan impor Indonesia dengan kedua negara tersebut hanya di bawah 1 persen.
Komoditas ekspor Indonesia terbesar ke Rusia adalah dari kategori minyak hewan dan nabati, sedangkan komoditas impornya adalah besi baja.
Adapun untuk ekspor Indonesia ke Ukraina hampir serupa dengan Rusia. Sementara itu komoditas impor Indonesia dari Ukraina adalah gandum.
Bani juga menuturkan meski nilai impor gandum dari Ukraina adalah yang kedua terbesar di Indonesia, tetapi semestinya pelaku masih bisa mendapatkan bahan baku tersebut dari negara lain, seperti Australia, Brasil, dan Argentina, walaupun dengan harga yang berbeda.
Sementara itu, Ketua Gabungan Produsen Makanan Minuman Indonesia (GAPMMI) Adhi S. Lukmann menilai konflik Rusia - Ukraina bisa berdampak besar terhadap global value chain.
Dia mengatakan konflik Rusia dan Ukraina sebenarnya tidak mendatangkan dampak langsung yang signifikan terhadap industri makanan dan minuman di Indonesia. Sebab, transaksi dagang Indonesia dengan kedua negara tersebut untuk produk makanan olahan dan semi olahan tidak terlalu besar.
"Mungkin nilai ekspor kita kepada mereka setara dengan kepada Myanmar dan negara lainnya. Meski begitu, dampak tidak langsung konflik inilah yang amat berpengaruh terhadap Indonesia,” ujarnya.
Dia mengkhawatirkan konflik Rusia - Ukraina ini akan berdampak besar terhadap perdagangan dan global value chain di seluruh dunia. Pelaku, sebutnya, bakal menghadapi disrupsi yang lebih besar terhadap supply chain, logistik, komoditas, dan energi.
"Logistik sangat terganggu, bahkan sejak sebelum perang. Biaya logistik bahkan naik sampai 5 kali lipat untuk pengiriman ke negara-negara tertentu. Bukan hanya untuk tujuan luar negeri, ini juga berpengaruh pada distribusi barang di skala lokal. Akhir-akhir ini bahkan banyak kapal dalam negeri yang digunakan untuk tujuan ekspor," jelasnya.