Bisnis.com, JAKARTA-Industri sawit Indonesia diklaim telah lebih maju dalam aspek keberlanjutan (sustainability) dibandingkan industri minyak nabati lainnya.
Direktur Eksekutif Palm Oil Agribusiness Strategic Institute (Paspi) Tungkot Sipayung mengatakan sampai saat ini sawit adalah satu satunya minyak nabati utama yang memiliki sistem dan standar serta sertifikasi berkelanjutan. Padahal, kata dia, minyak nabati lainya seperti kedelai, sunflower, rapeseed sampai saat ini belum punya sistem dan sertifikasi sustainability.
Dia membeberkan, Indonesia sejak tahun 2011 sudah punya Sistem Sertifikasi Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan Indonesia (ISPO) sebelum Malaysia yang baru mendirikan pada 2014.
Menurutnya, tantangan industri sawit Indonesia ke depan paling besar justru terkait aspek keberlanjutan sawit ini, yaitu soal produktivitas yang rendah, serta harga pokok produksi (HPP) terus meningkat.
“Produktivitas yang meningkat adalah kunci sustainability baik secara ekonomi, secara sosial dan ekologis. Produktivitas sawit kita masih sekitar 40 persen dari yang seharusnya. Jadi PR nya masih cukup besar,” jelas Tungkot kepada Bisnis, Rabu (9/11/2022).
Kemudian, ujar Tungkot, HPP sawit juga masih terus naik, jika tidak ada terobosan inovasi yang signifikan, daya saing sawit Indonesia akan makin melorot terus. “Jadi sustainability sawit kita belum tercermin dalam peningkatan produktivitas dan efisiensi biaya produksi,” ujar Tungkot.
Baca Juga
Sekadar informasi, dua pasar ekspor utama, yakni India dan China mulai menunjukkan sinyal-sinyal transisi menuju industri sawit berkelanjutan yang bisa berdampak pada akses pasar produk sawit asal Indonesia.
India telah meluncurkan aliansi sawit berkelanjutan 'Sustainable Palm Oil Coalition for India (IndiaSPOC). Begitupun China, selama empat tahun terakhir juga telah menelurkan beberapa inisiatif hijau di antaranya adalah peluncuran 'China Sustainable Palm Oil Alliance' pada 2018, Proposal Kebijakan Rantai Nilai Hijau 2020, dan Pedoman Konsumsi Minyak Sawit oleh Kamar Dagang Bahan Makanan dan Produk Asli China yang dirilis pada tahun 2022.
Menurut Tungkot, industri sawit telah terlebih dulu menerapkan aspek berkelanjutan seperti dalam solusi pencapaian 17 tujuan dari Tujuan Pembangunan Berkelanjutan atau Sustsinabilie Development Goals (SDGs).
“Dari 17 tujuan SDGs dunia, industri sawit dapat menyumbang/berperan dalam 15 tujuan. Bahkan, secara ideologi dan kebijakan atau ekosistem Indonesia seperti UU tentang Lingkungan Hidup, UU perkebunan, UU cipta kerja, dll sudah on the right track pada sustainability,” klaim Tungkot.
Di samping itu, Tungkot juga menyinggung soal upaya implementasi Renewable Energy Directived (RED) II oleh Uni Eropa (UE) yang menghapuskan penggunaan minyak sawit sebagai bahan baku biodiesel. “Maka dicari carilah alasan agar biodiesel sawit tidak masuk dalam RED II. Jadi intinya tetap persaingan bisnis. Saat ini akibat perang Rusia- Ukrania, Uni Eropa malah minta minyak sawit dari Indonesia dan tak mempertanyakan sustainability. Sebagai catatan jika Uni Eropa menolak sawit, maka Uni Eropa akan memicu peningkatan deforestasi dan emisi global yang lebih besar lagi,” ujar Eks Komisaris PTPN III itu yang mengaku menjadi bagian tim pemerintah untuk menghadapi RED II EU pada 2019.