Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Kagama Beri 1 Solusi untuk Urai 3 Tantangan Transisi Energi

Penyelerasan antara keamanan pasokan, keterjangkauan, dan pertimbangan lingkungan, tantangan utama dalam transisi energi. Kagama memiliki resep jalan keluarnya
Ekonomi hijau dan transisi energi/ilustrasi
Ekonomi hijau dan transisi energi/ilustrasi

Bisnis.com, JAKARTA - Transisi energi dihadapkan dengan trilema energi atau 3 tantangan penyelarasan antara keamanan pasokan, keterjangkauan, dan pertimbangan lingkungan. Ketiganya dapat terwujud melalui gotong royong berbagai pemangku kepentingan. 

Untuk mengungkap strategi jitu mewujudkan transisi energi, Komunitas Keluarga Alumni Universitas Gadjah Mada (Kagama) Persma bersama dengan Bisnis Indonesia menggelar seminar bertajuk 'Masa Depan Transisi Energi di Indonesia'. 

Vice President Transisi Energi & Keberlanjutan PT PLN Anindita mengatakan pihaknya memiliki target menekan emisi hingga 101 miliar ton untuk mencapai target Net Zero Emission (NZE) 2060. Kendati demikian, transisi energi harus diimbangi dengan trilema energi. 

"Bicara transisi energi, kita bicara terkait dengan namanya adalah trilema energi. Bagaimana listrik itu bisa murah, andal, kita juga tetap memperhatikan aspek keberlanjutan di dalamnya," kata Anindita dalam seminar Kagama Persma 'Masa Depan Transisi Energi di Indonesia', Minggu (27/10/2024). 

Dalam hal ini, PLN telah menetapkan strategi jangka pendek dan jangka panjang. Untuk jangka pendek, pihaknya berupaya melakukan pengembangan renewable energi sebesar 21,3 GW pada 2030, co-firing biomass, efisiensi energi, teknologi efisiensi batubara, hingga ekspansi PLTGU. 

Sementara itu, untuk jangka panjang PLN menargetkan kapasitas renewable energy memiliki porsi 76%, co-firing biomass dengan rasio 30%, co-firing hidrogen, implementasi carbon capture utilization + storage (CCS), dan teknologi baru seperti nuklir. 

"Di tahun 2060 kita bisa menurunkan emisi sampai dengan zero dengan upaya seperti ini, bagaimana kita membangun kapasitas renewable energi yang cukup besar, termasuk firing, hydrogen, CCS, dan new technology," ujarnya. 

Senada, PT Pertamina New Renewable Energy (PNRE) Nanang Kurniawan menyampaikan salah satu upaya yang dapat didorong dalam mengurangi trilema energi yakni penerapan bahan bakar ramah lingkungan, salah satunya lewat bioetanol. 

"Ada pergeseran dari sebelumnya, kalau dulu masalah energi hanya ada [pasokan] dan murah, tapi saat ini tidak cukup, dengan adanya global warming, kerusakan lingkungan, ada kebutuhan ketiga [sustainability] yang harus dipenuhi," ujarnya.

Bioetanol merupakan solusi untuk mengatasi permasalahan terkait emisi di sektor transportasi, sekaligus menjawab tantangan transisi energi. Bahan bakar terbarukan dari biomassa tanaman ini memiliki berbagai manfaat bagi lingkungan, ekonomi, pengurangan emisi, hingga kemandirian energi. 

Dalam paparannya, dia menyebut potensi pengurangan defisit perdagangan tahunan lewat pengurangan impor bensin mencapai Rp22 triliun dengan asumsi importasi rata-rata 9 juta kilo liter pada 2034. 

Tak hanya itu, bioetanol juga dapat mengurangi emisi 2 juta CO2 per tahun pada 2034 atau 2% pengurangan emisi per liter bensin. Penerapan bahan bakar nabati ini juga dapat membuka lebih dari 100.000 tenaga kerja dan potensi peningkatan GDP hingga Rp25-40 triliun. 

"Negara kita melimpah, semua pangan yang biasa dijadikan dasar dari bioetanol itu bisa ditanam [tebu, jagung, singkong], tinggal mau nanam nya atau enggak, dan siap atau tidak lahannya, tapi secara compatibility cukup kompatibel," tuturnya. 

Dalam kesempatan yang sama, Head of International and FI Division PT Bank Negara Indonesia (BNI), Rima Cahyani mengatakan transisi energi tidak akan terlepas dari sustainable financing dan ESG financing. 

"Kami memiliki global syndication desk dan structure finance yang ada di Singapura, tim ini yang akan meng-handle terkait dengan green financing ataupun sustainability loan terkait perusahaan baik itu di Indonesia maupun luar negeri," jelasnya. 

Dia menerangkan, perusahaan yang mengincar pembiayaan hijau umumnya ingin meningkatkan brand value terkait green industry dan ESG, lalu dari segi harga lebih kompetitif, dan untuk memikat investor yang lebih tertarik dengan perusahaan berbasis ESG. 

"Dari sisi perbankan, kami berharap selama 10 tahun ke depan transisi energi bisa dijalankan dan dari sisi financing kita bisa memberikan pembiayaan yang tepat terhadap renewable energy maupun terhadap proyek yang ada di Indonesia," tuturnya. 


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper