Bisnis.com, JAKARTA - Center of Economic and Law Studies (CELIOS) mengingatkan pemerintah tak memandang upaya suntik mati pembangkit listrik tenaga batu bara (PLTU) merugikan negara.
Peringatan itu merespons pernyataan Menteri Keuangan Sri Mulyani yang baru-baru ini mengkhawatirkan potensi kerugian negara dari pensiun PLTU Cirebon-1 di Jawa Barat. Bendahara negara itu beralasan pensiun dini PLTU memerlukan biaya besar yang ditanggung PLN dan APBN, terutama terkait peningkatan grid-transmisi untuk energi terbarukan.
Direktur Eksekutif CELIOS Bhima Yudhistira menuturkan, kekhawatiran pemerintah sama sekali tidak berdasar. Menurutnya, jika peningkatan grid-transmisi memerlukan investasi, maka itu adalah tanggung jawab pemerintah melalui APBN dan kerja sama swasta untuk meningkatkan bauran energi terbarukan.
"Ini seharusnya tidak dipandang sebagai kerugian negara, melainkan sebagai keuntungan dari penghematan biaya subsidi, kompensasi listrik, dan biaya kesehatan,” kata Bhima melalui keterangan resmi, Selasa (5/11/2024).
Bhima berpendapat kendala infrastruktur dan finansial yang dianggap beban justru disebabkan oleh kelebihan pasokan listrik, terutama di Jawa dan Sumatra. Hal itu justru mengakibatkan kerugian finansial yang diperkirakan mencapai Rp18 triliun pada 2023 karena kapasitas yang tidak terpakai.
Bhima menambahkan bahwa paradigma dalam mengindikasikan kerugian negara juga problematis.
Baca Juga
“Peningkatan belanja pemerintah untuk proyek berbasis bahan bakar fosil, seperti bandara dan ibu kota baru IKN Nusantara, telah menguras sumber daya keuangan sehingga mengurangi dana untuk proyek terbarukan. Apakah itu bukan kerugian negara?” katanya.
Bhima juga mengingatkan bahwa Indonesia perlu bergerak cepat. Apalagi, negara-negara Asia Tenggara seperti Vietnam telah berinvestasi besar dalam peningkatan transmisi untuk mendukung energi terbarukan dan mengadopsi teknologi jaringan pintar.
Adapun, investasi itu untuk meningkatkan efisiensi dan keandalan. Hal itu pun berpotensi menurunkan biaya bagi konsumen dan mendukung integrasi energi terbarukan. Menurut Bhima, hal di atas dapat menjadi contoh bagi Indonesia.
“Secara keseluruhan, urgensi restrukturisasi komitmen keuangan dan pengembangan inovasi dalam teknologi jaringan listrik untuk mencapai tujuan energi terbarukan Indonesia adalah tanggung jawab negara, bukan dikategorikan sebagai kerugian negara,” tutup Bhima.
Sebelumnya, Sri Mulyani mengungkapkan pemerintah dan pihak swasta masih mendiskusikan kesepakatan pembiayaan untuk melakukan pensiun dini terhadap PLTU Cirebon-1 pada Desember 2035.
Padahal, sebelumnya ditargetkan kesepakatan transaksi selesai pada paruh pertama 2024. Kendati, Sri Mulyani mengaku masih banyak tantangan yang harus dibicarakan bersama sehingga kesepakatan tersebut belum tercapai hingga kini.
"Kita lihat dari biaya yang muncul akibat dari keputusan itu, konsekuensinya terhadap PLN, terhadap APBN, dan private sector [pihak swasta]," ujarnya usai acara Indonesia International Sustainability Forum 2024 di JCC Senayan, Jakarta Pusat, Jumat (6/9/2024).
Menurutnya, pemerintah dan swasta masih mencari jalan keluar terbaik agar transaksi yang disepakati nantinya bisa akuntabel. Sri Mulyani tidak ingin kesepakatan tersebut malah timbulkan permasalahan di masa mendatang.
"Sehingga tidak dianggap sesuatu yang merugikan negara," ungkapnya.
Sebelumnya, Asian Development Bank (ADB) bersama PT Cirebon Electric Power (CEP) dan Indonesia Investment Authority (INA) sepakat untuk melakukan pensiun dini terhadap PLTU Cirebon-1 di Jawa Barat pada Desember 2035.
PLTU Cirebon dengan kapasitas 660 megawatt (MW) tersebut akan pensiun 7 tahun lebih awal daripada yang seharusnya, yaitu Juli 2042. Hal ini berdasarkan hasil diskusi dengan pemilik pembangkit listrik tersebut dan pemerintah Indonesia di bawah program Mekanisme Transisi Energi (Energy Transition Mechanism/ETM) dari ADB.
ETM merupakan pembiayaan campuran untuk mengakselerasi transisi dari energi fosil ke energi bersih oleh ADB bersama dengan pemerintah, investor swasta, filantropis, dan investor jangka panjang.
Struktur akhir transaksi juga akan menentukan ukuran pembiayaan, tetapi diperkirakan sekitar US$250 juta-US$300 juta.