Bisnis.com, JAKARTA – Ekonom Indef menyebut RAPBN 2025 terlalu ambisius dan belum menjawab penyebab permasalahan yang menghambat perekonomian Indonesia.
Ekonom Senior Institute for Development of Economics & Finance (Indef) M. Fadhil Hasan, menyatakan APBN 2026 akan menjadi penentu arah ekonomi Indonesia. Menurutnya, Presiden Prabowo lebih menekankan ideologi dan paradigma ekonomi dengan peran dominan negara untuk mengelola sumber daya strategis.
Fokus utamanya pada hilirisasi, ketahanan pangan, swasembada energi, serta kebijakan proteksionis dalam kerangka “Berdikari".
"Namun, RAPBN 2026 dipandang ambisius oleh banyak pengamat. Ada tantangan dalam konsistensi data pertumbuhan ekonomi serta potensi inkonsistensi kebijakan. Karena di satu sisi pemerintah mendorong intervensi negara, sementara di sisi lain terikat pada kesepakatan internasional yang menuntut deregulasi," ujarnya melalui keterangan resmi, Sabtu (16/8/2025).
Selain itu, Kepala Pusat Makroekonomi dan Keuangan Indef, M. Rizal Taufikurahman mengatakan masih terdapat paradoks fiskal di dalam narasi optimisme RAPBN 2026.
"Ketergantungan pada pembiayaan utang tetap besar, sementara belanja negara diarahkan pada delapan agenda prioritas yang bersifat populis, tetapi belum seluruhnya menjawab akar masalah pembangunan struktural," ujarnya.
Baca Juga
Konsolidasi fiskal yang ditekankan pemerintah berisiko menjadi sekadar target nominal, tanpa diimbangi perbaikan kualitas belanja dan efektivitas kebijakan.
Rizal juga menyoroti 8 program unggulan dalam RAPBN 2026 menghadapi masalah dalam implementasinya. Misalnya, program ketahanan pangan sebagai salah satu yang mendapat alokasi APBN terbesar tapi masih terjebak pada persoalan klasik seperti distribusi pupuk, dominasi pasar oleh swasta, dan kerentanan iklim.
Kemudian transisi energi yang masih terhambat oleh ketergantungan pada energi fosil untuk industri hilirisasi, yang justru memperlambat dekarbonisasi.
Sementara itu, program makan bergizi gratis berpotensi baik untuk memperbaiki gizi masyarakat, tetapi rawan salah sasaran serta dapat menimbulkan tekanan inflasi pangan lokal jika tata kelola rantai pasok tidak diperkuat.
Pada program sektor sosial, pendidikan dan kesehatan tetap memperoleh porsi belanja besar, tetapi efektivitasnya dipertanyakan.
"Belanja pendidikan belum sepenuhnya menjawab learning loss [kehilangan pembelajaran] dan mismatch vokasi dan industri, sementara anggaran kesehatan menghadapi risiko coverage gap akibat pengetatan cleansing peserta JKN," paparnya.
Di sisi lain, program koperasi desa dan agenda pertahanan juga menyimpan dilema koperasi rakyat rawan problem tata kelola, sedangkan pertahanan masih bergantung pada impor alutsista dengan industri domestik yang lemah.
"Dengan demikian, RAPBN 2026 memerlukan koreksi terutama dalam implementasi program agar tidak hanya menonjolkan narasi pertumbuhan, tetapi juga memastikan keberlanjutan, ketepatan sasaran, dan daya ungkit yang nyata bagi perekonomian nasional," imbuhnya.