Bisnis.com, JAKARTA -Aksi buang susu di sentra produksi susu di Jawa Tengah dan Jawa Timur yang terjadi beberapa hari belakangan ini, seperti pengulangan kejadian serupa di tahun 1980an. Aksi pada tahun ini diduga terjadi terutama disebabkan oleh ketidakmampuan para kolektor dan atau koperasi susu untuk memenuhi standar kualitas produk yang telah disepakati. Faktor lainnya adalah implementasi pembayaran pajak bagi para pengepul susu. Pasalnya, nilai pajak tertagih kolektor susu sangat fantastis, di tengah ketidak pahaman penghitungan kewajibannya. Kedua faktor penyebab ini telah berdampak negatif terhadap usaha peternak sapi perah rakyat.
Fenomena rendahnya kualitas susu biasanya disebabkan oleh berbagai faktor terutama dalam hal manajemen pemeliharaan yang tidak memenuhi standar Good Farming Practise(GFP). Peternak rakyat, usahanya dilakukan secara tradisional dalam skala usaha kecil yang tidak efisien. Selain itu, rendahnya kualitas susu dapat pula dilakukan oleh (personal) pengepul atau koperasi susu. Mereka, melakukan pengoplosan atau mencampur susu murni dengan produk lainnya. Selain hal tersebut, manajemen pemasaran pun tidak luput dari masalah. Misalnya, produk susu hasil peternak yang ditolak oleh satu kolektor susu, produk yang sama dijual ke kolektor lainnya dapat di terima oleh IPS. Semua fenomena tersebut, merupakan manifestasi kelamnya bisnis persusuan yang terjadi sejak lama. Semua fenomena tersebut harus mampu dikendalikan oleh kebijakan pemerintah yang akan mampu menciptakan iklim usaha yang kondusif.
ERA KEEMASAN
Pada era 1979-1998 pengembangan sapi perah terjadi secara spektakuler. Populasinya meningkat tajam dari 94.000 ekor menjadi 325.000 ekor. Peningkatan populasi tersebut terutama disebabkan oleh impor sapi dara FH sebanyak 80-ribuan ekor dari Australia, New Zealand dan Amerika Serikat (AS). Produksi susu meningkat dari 25.000 ton menjadi 382.000 ton per tahun. Rasio impor susu dibanding produksi SSDN (susu segar dalam negeri) menurun dari 20:1 menjadi 2:1. Artinya kemampuan produksi SSDN berkontribusi 50% terhadap permintaan konsumen. Jumlah koperasi/KUD susu, meningkat dari 11 unit menjadi 200-an unit koperasi/KUD susu.
Hal ini terjadi karena komitmen pemerintah untuk mengembangkan peternakan sapi perah. Beberapa kebijakan strategis antara lain; kebijakan SKB 3 Menteri (Pertanian, Koperasi/UKM, dan Perindustrian) yang mengatur rasio penyerapan SSDN dengan Impor; Kebijakan PUSP (panca usaha sapi perah) sebagai pola kredit sapi perah dan kemitraan, dan Inpres No. 2/1985 tentang persusuan Nasional.
Selain itu, dibentuknya tim persusuan nasional sebagai kelembagaan ad hoc yang terdiri Kementerian Koperasi, Industri dan Pertanian. Tim ini beranggotakan koperasi/KUD persusuan di bawah koordinasi GKSI, PPSKI sebagai asosiasi peternak sapi dan kerbau dan AIPS (asosiasi industri pengolah susu). Era keemasan ini berakhir saat krisis ekonomi global 1997—1998. Pada saat itu pemerintah menandatangani LOI dengan IMF (International Monetary Fund). Kemudian mencabut Inpres No. 2/1998 tentang persusuan oleh Inpres No. 4/1998. Sejak saat itu, peternak sapi perah tidak lagi diproteksi.
Baca Juga
Sejak dicabutnya Inpres 2/1985 pada 1998, SSDN yang diproduksi peternakan rakyat menurun kontribusinya menjadi 25% dan 75% Impor. Pada awal tahun 2000 dimulainya “program swasembada daging sapi” di mana program ini telah berdampak negatif terhadap perkembangan peternakan sapi perah rakyat. Pasalnya, di era ini terjadi depopulasi sapi perah yang sangat signifikan sekitar 20%—30 %. Penyebab utamanya adalah harga daging yang mahal dan anjloknya harga susu, sehingga menyebabkan para peternak sapi perah menjual sapinya sebagai daging sapi.
Selain hal itu, Kementrian Koperasi dan UKM pada 2016 mengambil inisiattif menyusun Rancangan Peraturan Presiden tentang Pengembangan Persusuan nasional sebagai pengganti Inpres 2/1985. Namun, ternyata tidak berlanjut (terhenti) pembuatannya. Sementara itu, Kementan dan Kemenko Perekonomian menyusun cetak biru persusuan nasional yang diharapkan akan mampu membangun kembali industri peternakan sapi perah rakyat berbasis SSDN yang terpuruk. Meskipun demikian, pada 2019, telah terjadi pandemi Covid-19 disusul dengan wabah penyakit Mulut & Kuku (PMK) dan Lumpyn Skin deases (2022). Dampak penyakit ini telah menurunkan populasi ternak sapi perah sekitar 30%, juga produksi susunya. Saat ini kemampuan produkdi SSDN berkisar 0,9 juta ton turun sekitar 30% dari prediksi Tim peneliti Puslitbangnak sebesar 1,29 juta ton (Bahri dkk 2017)
Selanjutnya pada cetak biru persusuan nasional, bahwa target konsumsi susu di dalam negeri pada 2026 akan terpenuhi sekitar 60%, dengan asumsi kemampuan produktivitas sapi perah sekitar 20 liter/hari, konsumsi susu meningkat menjadi 30 liter/kapita/tahun, populasi sapi perah menjadi 1,8 juta ekor, peningkatan populasi betina laktasi menjadi 50% populasi betina produktif.
Namun, faktanya peternak tidak mampu berprestasi sesuai dengan cetak biru persusuan. Hal ini diperlihatkan bahwa kemampuan kontribusi SSDN cenderung menurun dari baseline 22%, kini hanya sekitar 18%, jumlah koperasi/KUD susu menurun dari sekitar 200-an unit menjadi 50 unit, serta terjadi depopulasi sapi dan produksi susu sekitar (30%—40%)
Kondisi persusuan nasional yang terpuruk pascakrisis ekonomi 1998 hingga kini, dikenal dengan potret buram persusuan nasional.
KEBANGKITAN PERSUSUAN
Peternak sapi perah sepertinya akan segera bangkit, dengan adanya program Makan Bergizi Gratis (MBG) dari Presiden Prabowo Subianto. Dalam kaitannya dengan hal tersebut perlu juga dipertimbangkan mengenai sarana daya tampung industrinya. Saat ini kapasitas terpasang IPS dari 88 IPS sebesar 4,64 juta ton, untuk memenuhi kebutuhan susu nasional 4,45 juta ton. Sementara itu, jika saja MBG melayani 82,9 juta orang selama 5 tahun, dan di tahun kelima (2029) diperlukan 3,78 juta ton/tahun (A.Rachman, CNBC Indonesia 2024). Artinya selama 5 tahun pemerintah harus mampu membangun infrastruktur persusuan dua kali lipat dari kondisi sekarang. Jika asumsi ini tidak dipenuhi, bukan mustahil di negeri ini akan terjadi banjir/kolam susu nasional.
Belajar dari pengalaman masa lalu dan kondisi saat ini, diperlukan penataan ulang kebijakan persusuan sebagai berikut: Diperlukan kebijakan Presiden tentang persusuan. Kebijakan tersebut mengatur bahwa IPS wajib menyerap SSDN, program MBG wajib menggunakan SSDN minimal 50%. SSDN masuk sebagai komoditas Bapokting (bahan pokok dan penting). SSDN masuk dalam Program susu sekolah atau masuk dalam Program Makanan Tambahan Anak Usia Sekolah (PMTAS), dan adanya fasilitas kredit program. Kebijakan dasar ini merupakan prasyarat yang harus dipenuhi guna mendukung keberhasilan program MBG yang berkelanjutan