Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Prabowo Dinilai Sulit Nambah Utang, Saran Ekonom Buru Pajak 'Bawah Tanah'

Penindakan atas transaksi barang ilegal maupun barang legal yang menghindari pajak dapat memberikan tambahan penerimaan negara ketika rasio utang naik.
Presiden terpilih Prabowo Subianto (kiri) dan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati (kanan) berfoto saat pembekalan calon anggota Kabinet 2024-2029 di Hambalang, Bogor, Jawa Barat pada Rabu (16/10/2024). / dok. Instagram @smindrawati
Presiden terpilih Prabowo Subianto (kiri) dan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati (kanan) berfoto saat pembekalan calon anggota Kabinet 2024-2029 di Hambalang, Bogor, Jawa Barat pada Rabu (16/10/2024). / dok. Instagram @smindrawati

Bisnis.com, JAKARTA — Ekonom Universitas Paramadina Wijayanto Samirin mengingatkan bahwa pemerintahan Presiden Prabowo Subianto tidak memiliki banyak ruang untuk menarik utang lebih banyak.

Wijayanto memproyeksikan debt service ratio (DSR) akan mencapai 45% pada 2025, yaitu cicilan pokok dan biaya bunga utang mencapai Rp1.253 triliun dengan penerimaan negara mencapai Rp3.005 triliun. Angka DSR tersebut, sambungnya, jauh di atas batas aman yaitu 30%.

DSR sendiri merupakan indikator kemampuan suatu negara membayar kewajiban utangnya, baik bunga maupun pokok, dibandingkan dengan pendapatan yang diterima dalam periode tertentu.

"Ini angka dari mana [batas aman] 30% ini? Ini angka teman-teman di BI [Bank Indonesia]. Kita sering diskusi internal dan ini threshold [ambang batas] yang mereka selalu pakai selama ini," ujar Wijayanto dalam diskusi secara daring, Rabu (22/1/2025).

Mantan staf khusus wakil presiden bidang ekonomi dan keuangan itu menegaskan jika DSR sudah sangat tinggi maka menjadi peringatan bagi pemerintah bahwa penerbitan utang tidak bisa ugal-ugalan lagi.

Tidak hanya itu, sambungnya, investor juga akan ragu membeli surat utang yang diterbitkan pemerintah apabila DSR terlalu tinggi. Oleh sebab itu, Wijayanto menekankan pemerintah harus mencari sumber penerimaan baru untuk membiayai program-programnya.

Dia menyarankan agar pemerintah fokus memajaki aktivitas ekonomi bawah tanah alias underground economy. Dia mencontohkan, underground economy seperti transaksi barang ilegal atau malah barang legal tetapi menghindari pajak.

"Misalnya barang selundupan atau cukai palsu, rokok tanpa cukai. Saya rasa pemerintah ketika menertibkan cukai palsu dan peredaran rokok tanpa cukai, itu sudah puluhan triliun, akan ada tambahan revenue [penerimaan]," jelasnya.

Selain itu, Wijayanto juga mendukung penerapan aplikasi Coretax atau sistem inti administrasi perpajakan oleh Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan. Menurutnya, Coretax sangat menjanjikan untuk menambah penerimaan pajak ke depan.

Dia meyakini selama ini permasalahannya ada di tata administrasi perpajakan. Padahal tarif-tarif pajak di Indonesia sudah relatif tinggi namun rasio pajak terhadap PDB masih rendah.

"Artinya permasalahan bukan di rate [tarif pajak], tapi di governance [tata kelola]," tutup Wijayanto.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Topik

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper