Bisnis.com, JAKARTA - Di tengah derasnya gelombang globalisasi dan desentralisasi yang sering kali pincang, negara memerlukan fondasi baru untuk memastikan kedaulatan ekonomi rakyat benar-benar terwujud, bukan sekadar narasi.
Koperasi Desa/Kelurahan Merah Putih hadir sebagai salah satu upaya strategis untuk menjawab kebutuhan itu. Bukan sekadar program politik populis, Koperasi Desa/Kelurahan Merah Putih merupakan koreksi atas ketimpangan struktural yang selama ini menempatkan desa hanya sebagai penerima limpahan program, bukan subjek pembangunan.
CELIOS dalam laporannya menyampaikan kritik tajam terhadap desain dan potensi risiko Koperasi Desa/Kelurahan Merah Putih. Kritik tersebut penting untuk menjadi bahan evaluasi, tetapi terlalu dini jika kesimpulan akhirnya memposisikan seluruh gagasan ini sebagai proyek politik elitis yang terputus dari akar rumput.
Pendekatan yang terlalu skeptis semacam itu justru bisa menjebak kita dalam status quo yang melanggengkan ketimpangan antarwilayah dan menjauhkan desa dari instrumen produktif dalam sistem ekonomi nasional.
Realitasnya, selama dua dekade reformasi, tidak semua desa mampu membangun kelembagaan ekonomi yang kuat secara mandiri. BUMDes memang lahir dengan semangat kemandirian, tetapi tidak sedikit yang stagnan karena terbatasnya akses pembiayaan, lemahnya kapasitas SDM, hingga minimnya pasar.
Di sinilah Koperasi Desa/Kelurahan Merah Putih mengambil peran sebagai fasilitator akselerasi pembangunan ekonomi desa. Dengan pendekatan skala nasional dan pendampingan multisektor, koperasi desa ini bisa menjadi agregator rantai pasok, distributor pangan lokal, hingga kendaraan transformasi ekonomi berbasis komunitas.
Baca Juga
Kekhawatiran soal penggunaan Dana Desa sebagai jaminan pembiayaan memang perlu dijawab dengan desain mitigasi risiko yang tepat. Namun, membatalkan seluruh skema karena ketakutan akan kredit macet sama saja dengan membiarkan desa terus-menerus bergantung pada transfer fiskal pusat tanpa instrumen pencipta nilai tambah.
Dalam banyak kasus di negara lain, koperasi yang disokong negara bisa menjadi institusi kuat dan mandiri, asal governance dan kontrol sosialnya bekerja. Oleh sebab itu, yang perlu diperkuat bukan pembatalan program, melainkan tata kelola dan akuntabilitasnya.
Lebih jauh, posisi strategis Koperasi Desa/Kelurahan Merah Putih juga berkaitan dengan tantangan geopolitik dan ketahanan pangan nasional. Kita tak bisa hanya mengandalkan sektor pangan besar atau swasta korporatis. Desa harus menjadi simpul kekuatan produksi dan distribusi.
Dalam konteks ini, koperasi bukanlah alat negara untuk mengontrol rakyat, melainkan instrumen rakyat untuk memperkuat kedaulatannya di bidang ekonomi, sebagaimana pernah dicita-citakan Bung Hatta.
Bukan berarti semua berjalan mulus. Kritik terhadap sentralisasi format dan minimnya partisipasi warga adalah alarm yang harus didengar. Pemerintah perlu membuka ruang konsultasi publik yang lebih luas dan fleksibel. Tetapi justru dengan adanya cetak biru nasional, desa-desa yang tertinggal dapat terbantu dari sisi manajemen dan akses awal modal.
Inilah esensi keadilan distributif, bukan menyeragamkan kreativitas lokal, tetapi menyediakan tangga pijakan bagi mereka yang belum sempat naik ke lantai ekonomi produktif.
Koperasi Desa/Kelurahan Merah Putih bukan proyek instan. Dia adalah jembatan panjang menuju ekonomi rakyat yang lebih terorganisir dan modern. Tidak sempurna, tetapi bisa diperbaiki. Tidak bebas kritik, tetapi layak dicoba. Karena jika kita terus menunggu koperasi ideal yang lahir secara organik tanpa intervensi, kita akan selamanya terjebak dalam romantisme ekonomi kerakyatan tanpa transformasi nyata.
Sudah saatnya kita memandang Koperasi Desa/Kelurahan Merah Putih tidak semata sebagai program pemerintah, melainkan sebagai platform struktural untuk merevitalisasi ekonomi perdesaan. Jika kita hanya berkutat pada narasi resistensi, kita justru kehilangan peluang sejarah untuk membentuk arsitektur ekonomi yang berpihak pada desa, yang inklusif tetapi terorganisasi, yang berakar pada rakyat namun tersambung ke jaringan pasar nasional.
Rekomendasi utamanya bukanlah menghentikan program, tetapi menyempurnakannya. Pertama, negara terus berupaya memastikan mekanisme checks and balances yang kuat di tingkat lokal dengan melibatkan lembaga desa, tokoh masyarakat, dan akademisi independen dalam proses verifikasi usaha dan evaluasi dampak.
Kedua, perlu penyesuaian desain agar memberikan keleluasaan kepada desa memilih bentuk usaha koperasi yang sesuai potensi lokal, alih-alih menyeragamkan sektor bisnis. Ketiga, model pembiayaan sebaiknya diformulasikan dalam bentuk blended finance dengan insentif khusus bagi koperasi yang mampu menunjukkan kinerja sosial dan ekonomi yang baik, bukan dengan skema hutang standar yang membebani Dana Desa secara kaku.
Di atas segalanya, pemerintah juga menyadari bahwa keberhasilan Koperasi Desa/Kelurahan Merah Putih tidak semata ditentukan oleh seberapa cepat target 80.000 unit tercapai, tetapi seberapa kuat desa merasa memiliki dan memimpin gerak langkah koperasi tersebut. Sebab ketika koperasi tumbuh bukan dari kewajiban, tetapi dari kesadaran, saat itulah republik ini benar-benar sedang menjemput kedaulatan ekonomi dari akar rumputnya, yaitu desa.