Bisnis.com, JAKARTA — Istana Kepresidenan angkat bicara menanggapi ketidakhadiran Presiden Prabowo Subianto dalam Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G7 yang digelar di Kanada pada 16-17 Juni 2025.
Kepala Komunikasi Kepresidenan Hasan Nasbi menyampaikan keputusan tersebut semata karena faktor jadwal yang berbenturan, bukan karena keberpihakan pada blok tertentu dalam geopolitik global.
“Presiden mendapatkan banyak sekali kehormatan dengan diundang ke dalam berbagai forum di dunia. Undangan-undangan ini ada yang waktunya pas, ada yang waktunya itu agak bentrok. Hampir bersamaan,” ujarnya di Gedung Kwarnas, Senin (16/6/2025).
Lebih lanjut, dia memaparkan dalam waktu yang hampir bersamaan, Presiden Prabowo telah lebih dulu menjadwalkan kunjungan kenegaraan ke Singapura serta kehadiran di St. Petersburg International Economic Forum (SPIEF) 2025 di Rusia, di mana Presiden akan tampil sebagai pembicara utama.
Dia melanjutkan bahwa undangan dari Rusia disebut sudah diterima sejak Maret atau April, jauh lebih awal dibandingkan undangan dari Kanada yang baru diterima pada awal Juni.
“Dan dalam kunjungan [ke Singapura] ini juga mungkin akan menghasilkan lebih dari 10 kerja sama yang sangat strategis juga buat bangsa kita. Jadi di antara pilihan-pilihan ini, kemudian pemerintah lebih mendahulukan komitmen-komitmen yang memang sudah dibuat di awal. Karena komitmen dengan Rusia sudah dibuat jauh-jauh hari,” tuturnya.
Baca Juga
Hasan juga menegaskan bahwa absennya Presiden di KTT G7 tidak bisa diartikan sebagai kecenderungan Indonesia memihak salah satu blok kekuatan dunia. Menurutnya, Indonesia tetap teguh pada prinsip politik luar negeri yang bebas dan aktif.
“Kita ini kan politik luar negerinya bebas aktif. Jadi tidak condong ke blok manapun. Kita tidak melihat dunia hitam putih. Jadi spekulasi-spekulasi semacam kayak cenderung ke blok ini atau itu, itu tidak ada,” tegasnya.
Hasan menambahkan, bergabungnya Indonesia dalam berbagai forum internasional seperti BRICS, G20, APEC, dan proses aksesi menuju keanggotaan OECD mencerminkan pendekatan pragmatis Indonesia, yakni bergabung dengan blok-blok ekonomi yang memberikan keuntungan strategis bagi bangsa.
Dia pun mengajak publik untuk tidak terjebak pada spekulasi geopolitik, melainkan memahami pendekatan Indonesia yang mengutamakan kepentingan nasional dalam setiap langkah diplomasi global.
“Kita nggak akan masuk ke dalam blok militer, blok pertahanan. Kita masuk dalam blok ekonomi selama itu menguntungkan buat bangsa kita. Jadi kira-kira itu,” pungkas Hasan.