Bisnis.com, JAKARTA- Pascapandemi hingga saat ini, 25.000 warteg se-Jabodetabek telah tutup. Jumlah ini mewakili perkiraan sekitar 50% dari total 50.000 warteg yang eksis sebelumnya.
Ketua Komunitas Warung Tegal Nusantara (Kowantara), Mukroni menegaskan pedagang warteg memilih tutup karena kondisi ekonomi yang semakin berat.
"Dengan kondisi tahun ini, pelambatan ekonomi, posisi warteg dilema. Imbas daya beli menurun, konsumen menurun karena PHK terjadi di mana-mana, pabrik-pabrik berguguran. Karena kondisi yang makin berat ini, merugi terus, pedagang warteg dilema, akhirnya memilih tutup," ujar Mukroni, dikutip dari siaran pers, Selasa (29/7/2025).
Dia memaparkan Jakarta sebagai salah satu pusat sebaran warteg, juga semakin banyak yang tutup. Mukroni berharap Pemprov DKI Jakarta sensitif dengan kondisi ini dan tidak semakin memberatkan dengan rancangan peraturan yang mengekang seperti adanya wacana Peraturan Daerah mengenai Kawasan Tanpa Rokok.
Dalam rancangan peraturannya, pasal 14 menyebutkan larangan merokok di restoran dan rumah makan. Keberadaan pasal ini pun membebani operasional warteg yang selama ini sudah tertekan.
“Ini menambah beban pemilik warteg. Sulit bertahan di tengah kondisi ekonomi sekarang ini, ditambah lagi dengan rancangan aturan seperti ini,” tegas Mukroni.
Baca Juga
Menurut Mukroni, keberadaan larangan merokok di warteg akan semakin membuat warteg sepi, sama saja dengan meniadakan konsumen. Aturan ini juga akan sulit ditegakkan di lapangan, cenderung justru memberikan kesempatan munculnya oknum-oknum di lapangan, yang lagi-lagi akan semakin memberatkan pedagang warteg.
“Konsumen warteg juga perokok, dan pedagang warteg untuk menambah pendapatannya juga menjual rokok . Benahi dulu ekonominya. Jangan ada peraturan yang semakin menekan dan membebani pedagang kecil. Yang dibutuhkan sekarang ini, solusi bagaimana warteg bisa tumbuh kembali, ekonomi membaik," sebutnya.
Dia menjelaskan warteg sebagai usaha ekonomi kerakyatan, sedang dalam posisi bertahan.
Mukroni menjelaskan, pendapatan warteg turun hingga 90% karena berkurangnya jumlah pelanggan, terutama dari pekerja kantoran dan buruh yang terkena dampak PHK dan kebijakan bekerja dari rumah.
Belum lagi ditambah biaya sewa yang terus semakin naik membuat pemilik warteg tidak mampu memperbarui sewa, terutama di Jakarta, di mana harga sewa lebih tinggi daripada di daerah sekitarnya.
"Warteg sudah terus berguguran karena terkena imbas ekonomi rakyat kecil yang semakin sulit. Jangan sekadar buat aturan. Makin banyak aturan tapi ekonomi tidak dibenahi, masyarakat tidak bisa makan. Jangan bikin sesuatu yang tidak bisa dilaksanakan,” paparnya.
Mukroni menilai pemaksaan larangan-larangan dalam Ranperda KTR mustahil diimplementasikan. "Sangat sulit melaksanakan aturan dengan larangan-larangan dalam Ranperda KTR dengan kondisi ekonomi seperti sekarang. Tolong di-tunda dulu. Masyarakat sudah ngos-ngosan. Pedagang kecil ini kalau tidak jualan, bisa mati,"tambahnya.
Sebelumnya, Gubernur DKI Jakarta Pramono Anung berjanji Ranperda KTR tak akan memberatkan usaha mikro kecil dan menengah (UMKM).
Pramono mengungkapkan meskipun peraturan ini disahkan, jangan sampai hanya menguntungkan masyarakat menengah ke atas, tetapi merugikan masyarakat menengah ke bawah.
"Jangan kemudian membuat perda untuk membuat masyarakat middle up sehat, tapi di bawahnya malah nggak sehat," sebutnya.