Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Transaksi Digital Tembus Rp1.454 Triliun, Kemenkeu Belum Mampu Tarik Pajaknya?

Kemenkeu memperkuat regulasi pajak digital untuk optimalkan penerimaan dari transaksi digital yang mencapai Rp1.454 triliun. Kebijakan baru mencakup pajak digital otomatis, penyesuaian pajak kripto, dan penerapan global minimum tax.
Staf Ahli Bidang Kepatuhan Pajak Kemenkeu Yon Arsal memberikan paparan saat diskusi bertajuk Sudah Tepatkah Arah Kebijakan Pajak Kita dalam RAPBN 2024? yang digelar Bisnis Indonesia Group di Jakarta, Selasa (29/8/2023). JIBI/Bisnis/Fanny Kusumawardhani.
Staf Ahli Bidang Kepatuhan Pajak Kemenkeu Yon Arsal memberikan paparan saat diskusi bertajuk Sudah Tepatkah Arah Kebijakan Pajak Kita dalam RAPBN 2024? yang digelar Bisnis Indonesia Group di Jakarta, Selasa (29/8/2023). JIBI/Bisnis/Fanny Kusumawardhani.

Bisnis.com, JAKARTA — Kementerian Keuangan alias Kemenkeu memperkuat regulasi perpajakan untuk mengoptimalkan penerimaan dari ekonomi digital yang telah berkembang semakin pesat.

Staf Ahli Bidang Kepatuhan Pajak Kemenkeu Yon Arsal menjelaskan bahwa struktur ekonomi dalam beberapa tahun terakhir telah bergeser ke arah digitalisasi. Pergeseran itu terlihat dari dua faktor.

Pertama, kontribusi sektor jasa yang semakin meningkat atas pmbentukan produk domestik bruto (PDB). Pada 2024, sektor jasa berkontribusi hingga 54,95% terhadap PDB—jauh lebih tinggi dari sektor manufaktur (18,98%) dan pertanian (12,61%).

Kedua, nilai transaksi ekonomi digital di Indonesia yang semakin signifikan. Data yang diolah Kemenkeu mencatat bahwa nilai transaksi digital di Indonesia mencapai Rp1.454 triliun pada 2024—meningkatkan hampir empat kali lipat dari Rp391 triliun pada 2018.

“Kita melihat peluang dari ekonomi digital yang sangat besar, maka kita untuk meningkatkan kepatuhan dan memberikan kemudahan administrasi bagi wajib pajak, kita coba menjelajah juga ke daerah perpajakan digital,” ungkap Yon dalam diskusi dari ISEI Jakarta, Selasa (26/8/2025).

Sumber: paparan Staf Ahli Menkeu
Sumber: paparan Staf Ahli Menkeu

Untuk itu, dia mengungkapkan bahwa ada tiga kebijakan yang sudah dikeluarkan Kemenkeu yaitu pemajakan digital, penyesuaian pajak kripto, dan persiapan penerapan global minimum tax.

Menurutnya, langkah ini bertujuan menciptakan kepastian hukum dan kemudahan administrasi sekaligus menjaga keadilan dalam ekosistem perpajakan nasional.

Pertama, pajak digital berbasis pemotongan otomatis yang tercantum dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 37/2025. Dengan mekanisme baru ini, Yon menyatakan pedagang di platform lokapasar digital tidak lagi perlu menghitung, menyetor, atau melaporkan pajaknya secara manual.

“Bagi pelaku usaha dengan omzet di atas Rp4,8 miliar, potongan pajak ini tetap bisa menjadi kredit pajak. Sementara bagi UMKM yang menggunakan tarif final 0,5%, mekanisme ini memberi kemudahan signifikan,” kata Yon.

Kebijakan ini juga dinilai menciptakan level playing field atau area persaingan yang seimbang antara pelaku usaha konvensional (fisik) dan digital.

Kedua, penyesuaian aturan pajak kripto melalui PMK No. 50/2025. Mekanisme tata cara pemajakan baru itu dibuat akibat perpindahan pengawasan aset kripto dari Bappebti ke OJK. 

Kini, pajak kripto dikenakan tarif pajak penghasilan (PPh) 0,21% untuk transaksi di platform dalam negeri dan tarif PPh 1% untuk transaksi di platform luar negeri (PMSN).

“Nah untuk PPN [pajak pertambahan nilai] saat ini tidak lagi kita kenakan karena kripto memang sudah disetarakan dengan alat instrumen keuangan yang lain di bawah pengawasan OJK yang tentunya juga tidak dikenakan PPN,” ucap Yon.

Ketiga, pemerintah juga sudah menerapkan global minimum tax alias pajak minimum global berdasarkan PMK No. 136/2024, sejalan dengan komitmen lebih dari 50 negara lain. Akibatnya, kini Kemenkeu berkoordinasi asosiasi pengusaha dan kementerian/lembaga terkait sedang menyusun skema insentif baru untuk industri.

“Insentif lama seperti tax holiday atau tax allowance perlu disesuaikan. Kalau kita tetap beri insentif pajak 0%, negara asal investor bisa memungut pajak itu di negaranya. Jadi kami mencari skema baru yang tetap menarik bagi investasi,” jelas Yon.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Bisnis Indonesia Premium.

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Bisnis Indonesia Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro