BISNIS.COM, JAKARTA--China Power Investment Corporation (CPI) siap menggelontorkan US$17 miliar untuk membangun pembangkit listrik tenaga air (PLTA) dengan kapasitas mencapai 7.000 megawatt (MW) di Sungai Kayan, Kalimantan Utara.
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Jero Wacik mengatakan CPI telah menyatakan komitmennya untuk investasi di sektor energi baru dan terbarukan di Indonesia. Pembangunan PLTA 7.000 MW itu akan dilakukan dengan lima tahap dengan jangka waktu 7 tahun.
"Mereka datang ingin investasi US$17 miliar selama 7 tahun. Kami akan fasilitasi ini agar realisasinya bisa cepat. Mudah-mudahan 2014 nanti mereka sudah groundbreaking [peletakan batu pertama] proyek itu," katanya usai bertemu Vice President CPI Xia Zhong di Kementerian ESDM, Jakarta, Senin (27/5/2013).
Wacik mengungkapkan dalam investasi tersebut pihak CPI belum meminta insentif dari pemerintah pusat. Alasannya, badan usaha milik negara (BUMN) China itu telah melakukan survei awal dan menemui kepala daerah di wilayah yang akan dibangun PLTA.
Dalam pengembangan PLTA itu, pemerintah akan menjadikan CPI sebagai pengembang listrik swasta (independent power producer/IPP). Setelah itu, Pemerintah akan melibatkan PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) untuk membeli listrik dari pembangkit listrik itu.
Selain itu, Wacik juga menegaskan CPI harus mengutamakan sub-kontraktor dalam negeri dalam pengerjaan PLTA itu. “Saya sudah minta agar memberikan CSR [Corporate Social Responsibility] yang bagus, mengutamakan tenaga kerja lokal dan subkontraktor dalam negeri,” ungkapnya.
Pembangunan PLTA itu, lanjut Jero, akan dilanjutkan dengan pembangunan pabrik pengolahan bijih mineral (smelter). Pasalnya, saat ini CPI juga sedang menghitung investasi di sektor smelter bijih mineral.
“Yang penting memang listriknya. Kalau sudah ada listriknya kan pembangunan smelter dapat lebih mudah. Jadi nanti listriknya kan tinggal menggelar transmisi,” tuturnya.
Terkait kualitas pembangkit listrik China, Jero mengungkapkan dirinya telah menyampaikan persyaratan yang ketat terkait kualitas komponen PLTA itu. hal itu dilakukan untuk menepis persepsi rendahnya kualitas pembangkit listrik China seperti yang sudah ada saat ini.
China Power Investment Corporation merupakan BUMN terbesar di China yang fokus dalam industri listrik, batu bara, aluminium, kereta api dan pelabuhan. CPI juga merupakan salah satu dari tiga perusahaan pembangkit listrik yang mampu mengembangkan pembangkit listrik tenaga nuklir di negaranya.
Saat ini, CPI telah memiliki 80.074 MW kapasitas terpasang, 74,1 juta ton kapasitas produksi batu bara, 2,77 juta ton kapasitas produksi aluminium dengan total aset mencapai RMB573,5 miliar.
Saat ini, CPI juga sedang melakukan kerja sama dengan Pemerintah Myanmar dalam pembangunan Bendungan Myitsone. Bendungan yang ditargetkan selesai pada 2017 tersebut diperkirakan akan menghasilkan 3.600 hingga 6.000 MW listrik yang didistribusikan ke Provinsi Yunnan.
Potensi tenaga air di dalam negeri sendiri mencapai 12.800 MW yang tersebar di 98 wilayah. Akan tetapi, hingga kini pemanfaatan tenaga air belum mencapai 1.000 MW.
Sebelumnya, Kementerian ESDM berharap pada pembangkit listrik berbasis mikrohidro untuk meningkatkan elektrifikasi di wilayah Papua bagian tengah. Alasannya, wilayah tersebut memiliki sungai dan potensi air untuk pembangkit listrik yang cukup banyak.
“Kami akan kejar terus elektrifikasi agar mencapai 60% dalam 2 tahun. Saat ini elektrifikasi di sana [Papua] kan masih 40%, sementara target elektrifikasi nasional itu mencapai 76,5%,” katanya.
Jarman mengungkapkan saat ini saja Pemerintah sedang menunggu penyelesaian pembangkit listrik mikrohidro dengan kapasitas 5X10 megawatt (MW) di Lembah Baliem. Proyek tersebut sudah memasuki tahap konstruksi sejak tahun lalu dan ditargetkan mulai beroperasi pada 2017 mendatang.
Proyek tersebut, lanjut Jarman, dibiayai dengan dana dari anggaran PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) dan anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) dengan mekanisme tahun jamak. Alasannya, untuk pembangunan pembangkit listrik itu, pengembang harus mendatangkan bahan bangunan dari luar wilayah itu, sehingga harganya menjadi lebih mahal.
Nantinya, wilayah Papua bagian tengah diharapkan akan seperti wilayah Wamena yang sebagian besar listriknya diproduksi oleh pembangkit listrik mikrohidro. "Kalau Papua sudah memiliki kelebihan pasokan listrik kan nanti bisa diekspor ke Papua Nugini. Saat ini saja kan mereka [Papua Nugini] masih rendah elektrifikasinya," jelasnya.
Sesuai rencana umum penyediaan tenaga listrik (RUPTL) 2010-2019, pengembangan pembangkit bertenaga air direncanakan mencapai 5.140 MW untuk 73 proyek. Potensi tenaga air di Indonesia tercatat mencapai 75.670 MW dengan 22.371 MW di antaranya berlokasi di Papua dan 16.844 MW lainnya di Kalimantan Selatan, Kalimantan Tengah dan Kalimantan Timur.