Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Aroma Resentralisasi Fiskal di Balik Ingar-bingar Efisiensi Anggaran

Pemangkasan anggaran transfer dan pengambilalihan peran daerah dalam pembangunan menguatkan ancaman resentralisasi kebijakan oleh pemerintah pusat.
Dany Saputra, Surya Dua Artha Simanjuntak
Jumat, 22 Agustus 2025 | 10:35
Presiden Prabowo Subianto dan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati di sela-sela perhelatan KTT G20 Brasil 2024. Dok Instagram @smindrawati
Presiden Prabowo Subianto dan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati di sela-sela perhelatan KTT G20 Brasil 2024. Dok Instagram @smindrawati

Bisnis.com, JAKARTA – Pelaksanaan desentralisasi fiskal berada di tengah jalan ketika pemerintah pusat tidak hanya berencana memangkas alokasi anggaran dana transfer ke daerah, tetapi juga akan mengambil alih sebagian kewenangan daerah sebagai konsekuensi dari kebijakan pemangkasan dengan dalih efisiensi anggaran tersebut.

Sekadar catatan, pemerintah berencana memangkas anggaran TKD sebesar 24,8% dari Rp864,1 triliun (outlook APBN 2025) menjadi Rp650 triliun dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN 2026). Kalau merujuk Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No.56/2025, salah satu sasaran efisiensi adalah belanja daerah terkait infrastruktur hingga dana keistimewaan maupun dana otonomi khusus alias otsus.

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati tidak secara eksplisit menyebut secara terang-terangan tentang fenomena resentralisasi fiskal tersebut. Dia hanya mengungkapkan bahwa pemerintah pusat akan banyak mengambil alih kebijakan yang sebelumnya diolah oleh pemerintah daerah, imbas anggaran transfer ke daerah yang banyak dipangkas dalam RAPBN 2026. Sebagai kompensasinya, pembangunan infrastruktur hingga pengelolaan sampah di daerah akan diambil alih oleh pemerintah pusat.

Pengambilalihan itu, sambungnya, akan dilakukan melalui mekanisme Instruksi Presiden (Inpres). Pembiayaannya akan berasal dari Bagian Anggaran Bendahara Umum Negara (BA BUN) Pengelolaan Belanja Lainnya, yang mana alokasi anggarannya naik dari Rp358 triliun (APBN 2025) menjadi Rp525 triliun (RAPBN 2026).

"Inpres jalan daerah dan Inpres infrastruktur daerah, bahkan sekarang masalah sampah daerah pun juga akan diambil alih," ujar Sri Mulyani dalam rapat kerja dengan Badan Anggaran (Banggar) DPR, Kamis (21/8/2025).

Bendahara negara itu blak-blakan bahwa selama ini banyak program pemerintah daerah yang berjalan tidak maksimal. Oleh sebab itu, pemerintah pusat berinisiatif ambil alih demi efisiensi anggaran. "Jadi memang banyak yang kita mengambil alih karena kita melihat tidak ter-deliver [terealisasi] atau tidak terjadi progres. Padahal ini masalahnya terus berlangsung, makanya kemudian muncul dalam Inpres," katanya.

Lebih lanjut, Sri Mulyani mengklaim kebijakan-kebijakan itu akan tetap mengedepankan akuntabilitas dan transparansi, meski Inpres tidak perlu melalui pembahasan dengan DPR.

Desentralisasi yang Ternoda

Desentralisasi fiskal secara sederhana dapat diartikan sebagai upaya pelimpahan pengelolaan keuangan dari pusat ke daerah. Substansi mengenai prinsip desentralisasi ini pertama kali diatur dalam UU  No.25/1999 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah serta Undang-undang No.33/2004 tentang PDRD.

Ada sejumlah substansi penting dalam kedua UU tersebut, salah satunya adalah pembagian kewenangan antara pusat dan daerah, termasuk jenis-jenis dana alokasi, dana bagi hasil, hingga pengaturan mengenai pajak dan retribusi yang bisa dikelola oleh pemerintah daerah.

Namun demikian, kedua UU tersebut dihapus seiring dengan pelaksanaan UU No.1/2022 tentang Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah alias HKPD. Secara eksplisit UU HKPD ditujukan untuk mendorong kemandirian fiskal daerah melalui optimalisasi pendapatan asli daerah. Tujuannya supaya daerah bisa lebih mandiri dan mengurangi ketergantungan terhadap pemerintah pusat.

Persoalannya, sampai dengan tahun lalu, mayoritas daerah masih memiliki kapasitas fiskal yang rendah. Selain itu, implementasi UU HKPD juga memicu perlombaan tarif pajak di sejumlah daerah yang secara praktis membebani masyarakat. Kasus membengkaknya tagihan pajak kendaraan bermotor akibat pelaksanaan opsen pajak hingga munculnya fenomena kenaikan tarif PPB-P2 dari ratusan persen hingga ribuan persen, menjadi contoh implikasi dari HKPD terhadap beban masyarakat yang masih diliputi ketidakpastian ekonomi.

Hal ini juga pernah diakui oleh Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian ketika menjawab pertanyaan mengenai fenomena perlombaan tarif pajak daerah. Tito pada tanggal 15 Agustus 2025 lalu membantah bahwa fenomena itu muncul karena efisiensi anggaran. Dia menjelaskan Aturan turunan dari UU HKPD, yakni Peraturan Pemerintah (PP) No.35/2023 mengatur bahwa pemungutan pajak dan retribusi daerah termasuk NJOP serta PBB-P2 harus berlandaskan peraturan daerah (perda). Kemudian, besaran tarifnya diatur dalam peraturan kepala daerah. 

Tito menyebut beberapa pemda yang menaikkan tarif PBB-P2 di daerahnya karena adanya penyesuaian NJOP yang dapat dilakukan setiap tiga tahun sekali. Penyesuaian NJOP itu mengikuti harga pasar, sehingga kemudian membuat PBB-P2 ikut terkerek naik. "Tetapi ada klausul, yaitu harus mempertimbangkan kondisi sosial ekonomi masyarakat. Yang kedua juga ada partisipasi dari masyarakat. Jadi harus mendengar suara publik juga," terangnya pada konferensi pers RAPBN 2026 di kantor Ditjen Pajak Kemenkeu, Jakarta, Jumat (15/8/2025). 

Menurut mantan Kapolri itu, ada 20 daerah yang diketahuinya menaikkan tarif PBB-P2. Kenaikannya bervariasi antara kisaran 5% sampai dengan 10%, serta ada sejumlah daerah yang melampaui 100%.  Jumlahnya mencapai 20 daerah. Salah satunya yakni Pati, yang belakangan ini menjadi sorotan publik karena menaikkan PBB-P2 hingga 250%. 

Akan tetapi, dari 20 daerah yang dimaksud, sudah ada dua daerah yang membatalkan peraturan kepala daerah ihwal kenaikan tarif PBB-P2 itu. Yakni Pati dan Jepara, di mana dua-duanya berada di Jawa Tengah.  Sementara itu, ada tiga daerah lain yang baru membuat perkada untuk mengerek tarif PBB-P2 pada 2025. Adapun 15 daerah lainnya telah menerbitkan aturan soal kenaikan tarif PBB-P2 sejak 2022-2024.

Untuk itu, Tito membantah apabila efisiensi anggaran belanja pemerintah pusat yang diberlakukan sesuai Instruksi Presiden (Inpres) No.1/2025 secara tidak langsung mendorong kenaikan tarif PBB di daerah-daerah.  "Artinya tidak ada hubungannya, 15 daerah, tidak ada hubungannya dengan efisiensi yang terjadi di tahun 2024. Nah jadi sekali lagi inilah inisiatif baru dari teman-teman daerah, hanya lima daerah yang melakukan kenaikan NJOP dan PBB di tahun 2025. Yang lainnya 2022-2024," terang Tito.

Apa Implikasinya ke Daerah?

Sebelumnya, Kepala Pusat Makroekonomi dan Keuangan Institute for Development of Economics and Finance (Indef) M. Rizal Taufikurahman meyakini efisiensi TKD melalui penahanan pencairan dana akan berdampak langsung ke keterlambatan proyek infrastruktur daerah, pengurangan belanja modal, dan hilangnya potensi efek pengganda (multiplier effect) di sektor riil daerah.

Menurut pengajar di Universitas Trilogi Jakarta itu, daerah dengan ketergantungan tinggi pada TKD seperti daerah tertinggal dan otonomi khusus akan merasakan kontraksi belanja publik yang signifikan. "Dalam jangka pendek, ini dapat menekan pertumbuhan ekonomi regional, memperlambat penciptaan lapangan kerja, dan menurunkan daya beli. Dalam jangka panjang, ketertinggalan infrastruktur dan layanan publik bisa semakin lebar antarwilayah," ungkap Rizal kepada Bisnis, Senin (11/8/2025).

Sementara itu, Center of Economic and Law Studies (Celios) memperkirakan, kebijakan efisiensi anggaran yang berlanjut pada 2026 akan mendorong lebih banyak daerah mengerek tarif pajak, salah satunya pajak bumi dan bangunan (PBB), seperti yang sempat dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten Pati.

“2026 akan lebih banyak daerah yang seperti Pati, Jombang, Ponorogo, dan lain-lain Cirebon juga, yang akan menaikkan dengan instan [tarif PBB-nya],” kata Direktur Eksekutif Celios Bhima Yudhistira dalam agenda ‘Respons Masyarakat Sipil atas Pidato Kenegaraan pada HUT RI ke-80’ di Jakarta Pusat, Sabtu (16/8/2025).

Bhima menuturkan kebijakan anggaran pemerintah untuk 2026 sangat bertolak belakang dengan semangat desentralisasi fiskal.  Dia mengungkapkan belanja pemerintah untuk tahun depan mengalami peningkatan dari Rp3.621,3 triliun pada 2025 menjadi Rp3.786,5 triliun, sedangkan TKD tahun depan berkurang 29,27% dari APBN 2025 yang tercatat sebesar Rp919 triliun.

Bhima menyebut pemerintah daerah (pemda) saat ini saja sudah cukup mengalami tekanan fiskal, sejak kebijakan efisiensi diterapkan pada awal 2025. “Tahun depan itu tekanannya akan lebih banyak, akan lebih merata, dan tentunya yang akan menjadi korban adalah masyarakat karena paling mudah memang menarik pajak, kemudian dari sisi retribusi,” tutur Bhima. 

Selain PBB, Bhima melihat bahwa pemda akan memperketat kepatuhan pajak hiburan, retribusi parkir, dan sumber pendapatan daerah lainnya, imbas adanya efisiensi anggaran. Dalam hal ini, dia memperkirakan daerah-daerah yang tidak memiliki dana bagi hasil (DBH) sumber daya alam akan paling terdampak dengan adanya kebijakan hemat anggaran.

Namun, bukan berarti daerah-daerah yang kaya akan sumber daya alam tidak terdampak kebijakan ini. Bhima mengatakan, biaya daerah untuk mengatasi kerusakan lingkungan di wilayahnya juga ikut terdampak kebijakan ini. “Jadi selain Pati, kemungkinan besar akan banyak sekali daerah, merata di Indonesia yang akan mengalami tekanan fiskal,” ujarnya.

Di sisi lain, Bhima juga mematahkan pernyataan Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati yang menyebut bahwa meningkatnya belanja pemerintah akan kembali ke daerah. Menurutnya, dana yang mengalir dari program seperti makan bergizi gratis (MBG) dan Koperasi Desa/Kelurahan Merah Putih ke daerah tidak sebesar dana yang langsung ditransfer pemerintah pusat ke daerah. 

“Begitu efisiensinya digunakan untuk belanja pemerintah pusat, itu kembali lagi ke daerahnya, meskipun ada MBG, ada Kopdes, dan lain-lain, tidak sebesar dana langsung ditransfer kepada pemerintah daerah, DAU, DAK, DBH,” pungkasnya.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Bisnis Indonesia Premium.

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Bisnis Indonesia Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro