Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Manufaktur Menanti 'Jamu Kuat' untuk Topang Target Ekonomi RI 5,4%

Industri manufaktur Indonesia memerlukan stimulus fiskal dan nonfiskal untuk mendukung target pertumbuhan ekonomi 5,4% pada 2026.
Karyawan pabrik tengah merakit mobil Hyundai di PT Hyundai Motor Manufacturing Indonesia (HMMI)./Bisnis-Rizqi Rajendra
Karyawan pabrik tengah merakit mobil Hyundai di PT Hyundai Motor Manufacturing Indonesia (HMMI)./Bisnis-Rizqi Rajendra
Ringkasan Berita
  • Industri manufaktur Indonesia membutuhkan stimulus fiskal dan nonfiskal untuk mencapai target pertumbuhan ekonomi 5,4% pada 2026, dengan pertumbuhan manufaktur diharapkan mencapai 4,8%-5,5%.
  • Insentif yang diberikan selama ini dinilai belum tepat sasaran, lebih banyak dinikmati oleh industri besar, sementara sektor menengah-kecil kurang optimal memanfaatkannya karena kendala birokrasi dan teknis.
  • Industri tekstil perlu didorong untuk tumbuh 6%-7% agar kontribusinya terhadap PDB signifikan, dengan insentif fiskal seperti potongan PPN dan diskon tarif listrik untuk mengaktifkan kapasitas produksi yang menganggur.

* Ringkasan ini dibantu dengan menggunakan AI

Bisnis.com, JAKARTA - Industri manufaktur berharap mendapatkan suntikan stimulus, baik fiskal maupun nonfiskal, untuk bisa mengakselerasi pertumbuhan demi menopang target pertumbuhan ekonomi Indonesia 5,4% pada 2026.

Kalangan pelaku usaha memperhitungkan bahwa kinerja manufaktur sebagai motor penggerak ekonomi nasional harus tumbuh di atas 5% untuk mengejar target pertumbuhan ekonomi tersebut. Adapun, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat laju pertumbuhan manufaktur terhadap produk domestik bruto (PDB) sebesar 4,31% (year-on-year/yoy) pada kuartal II/2025.

Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Bidang Perindustrian Saleh Husin mengatakan, kontribusi manufaktur terhadap PDB saat ini masih stagnan di kisaran 18%-19%.

Data BPS menunjukkan kontribusi industri pengolahan terhadap PDB mencapai 18,67% yoy pada kuartal II/2025. Namun, angka tersebut turun dari kuartal sebelumnya yakni 19,25% yoy. Sementara itu, jika dibandingkan dengan kuartal II/2024 yang mencapai 18,52% yoy, kontribusi periode kuartal kedua tahun ini masih lebih tinggi.

"Dengan proyeksi pertumbuhan ekonomi nasional 5,4%, maka manufaktur perlu tumbuh di kisaran 4,8%–5,5%," ujar Saleh kepada Bisnis, Kamis (21/8/2025)

Menurutnya, angka ini relatif lebih tinggi dibandingkan tren 5 tahun terakhir yang cenderung stagnan di bawah 4,5%. Artinya, dibutuhkan akselerasi signifikan melalui perbaikan iklim usaha, dorongan investasi, serta peningkatan ekspor produk bernilai tambah.

Selain itu, Saleh menuturkan, industri manufaktur juga perlu diberikan insentif fiskal dan nonfiskal yang tepat sasaran, sesuai kebutuhan industri sektoral.

"Pertama, insentif fiskal berbasis kinerja, misalnya pengurangan pajak yang dihubungkan dengan realisasi investasi, penciptaan lapangan kerja, atau adopsi teknologi ramah lingkungan," kata Saleh.

Artinya, pemerintah dapat memberikan stimulus pengurangan pajak terhadap industri yang memberikan kontribusi besar terhadap serapan lapangan kerja maupun teknologi ramah lingkungan.

Kedua, dukungan riset dan inovasi seperti super deduction untuk research and development (R&D) dan vokasi yang perlu diperkuat agar industri dapat naik kelas dengan sumber daya yang mumpuni.

"Ketiga, insentif untuk hilirisasi dan substitusi impor yang fokus pada sektor yang mampu mengurangi defisit neraca perdagangan, seperti kimia dasar, farmasi, dan komponen elektronik," terangnya.

Keempat, tak kalah penting dorongan untuk industri hijau dengan memberikan insentif. Hal ini menjadi krusial sejalan dengan agenda transisi energi, insentif untuk industri rendah karbon (misalnya renewable-based manufacturing, circular economy).

Kelima, Kadin juga berharap pemerintah memberikan fasilitas untuk industri kecil dan menengah misalnya dengan pembebasan bea masuk bahan baku bagi sektor padat karya agar daya saing lebih merata.

Karyawan beraktivitas di salah satu pabrik di Jawa Barat. Bisnis/Bisnis
Karyawan beraktivitas di salah satu pabrik di Jawa Barat. Bisnis/Bisnis

Belanja Insentif Manufaktur Belum Tepat Sasaran

Selama ini, sektor manufaktur memang menjadi penikmat terbesar dari belanja perpajakan pemerintah. Namun, belanja insentif ini dinilai belum tepat sasaran.

Dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2026, belanja perpajakan untuk sektor industri pengolahan dipatok sebesar Rp141,7 triliun pada 2026 atau naik dari proyeksi tahun ini yang mencapai Rp137,2 triliun.

Kenaikan belanja pajak sektor industri pengolahan telah berlangsung dalam beberapa tahun terakhir. Pada 2021, insentif pajak yang diberikan pemerintah ke sektor manufaktur mencapai Rp72,3 triliun. Stimulus yang diberikan meningkat pada 2022 menjadi Rp82,2 triliun, kemudian naik menjadi Rp88,8 triliun pada 2023, dan mencapai Rp98,9 triliun pada 2024.

Saleh menilai selama ini struktur insentif yang diberikan masih generik, belum sepenuhnya tepat sasaran. Banyak fasilitas seperti tax holiday, tax allowance, PPN DTP, dan lainnya yang lebih dirasakan oleh industri besar atau padat modal, sementara sektor menengah-kecil yang lebih rentan justru tidak optimal memanfaatkannya.

"Permasalahan non-fiskal lebih dominan. Kendala birokrasi, kepastian hukum, perizinan, tingginya biaya logistik, keterbatasan energi dan ketergantungan bahan baku impor membuat insentif fiskal kurang optimal," tuturnya.

Di sisi lain, permintaan global yang saat ini melemah karena tekanan perlambatan ekonomi dunia akibat konflik geopolitik serta persaingan impor murah membuat insentif tidak langsung terkonversi menjadi peningkatan output.

Tak hanya itu, pihaknya juga masih melihat terdapat keterbatasan penyerapan pelaku usaha karena kendala teknis.

"Banyak perusahaan belum memiliki kapasitas manajerial/teknis untuk menyesuaikan dengan persyaratan insentif, misalnya TKDN, green industry, atau digitalisasi," pungkasnya.

Sementara itu, Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filamen (APSyFI) mengharapkan insentif fiskal yang khusus menyasar pada industri-industri yang sedang sekarat. Pasalnya, sejumlah pabrikan diduga menghentikan produksi karena sejumlah tantangan di pasar domestik.

Ketua Umum APSyFI Redma Gita Wirawasta mengatakan, insentif fiskal yang diguyur pemerintah selama ini hanya efektif mendorong angka realisasi investasi baru. Sementara itu, kinerja industri existing tertekan hingga banyak kapasitas idle atau berhenti produksi.

"Ini juga sudah cukup bagus [menarik investasi baru], tinggal selanjutnya pemerintah memberikan insentif untuk mengaktivasi kapasitas-kapasitas produksi yang berhenti," kata Redma kepada Bisnis, Kamis (21/8/2025).

Di sisi lain, Redma juga melihat investasi existing yang saat ini terhenti produksinya tidak dijadikan pertimbangan. Padahal, kapasitas produksi yang menganggur saat ini secara nilai investasi diperkirakan lebih besar dibandingkan investasi baru.

Adapun, merujuk pada data Kementerian Investasi dan Hilirisasi/BKPM, realisasi investasi sektor industri tekstil yang masuk pada semester I/2025 mencapai Rp10,2 triliun dengan 5.406 proyek. Pada triwulan II/2025, angka investasinya mencapai Rp4,82 triliun.

"Jadi insentif yang diberikan harus langsung menjadi pengurang atau menurunkan biaya produksi di industri dan menurunkan modal kerja," tuturnya.

Menurut dia, sejumlah insentif fiskal yang mesti diprioritaskan untuk mengaktivasi kapasitas produksi tekstil saat ini yaitu potongan PPN, diskon tarif listrik, harga gas bumi tertentu (HGBT) dengan pasokan 100% andal, dan subsidi bunga untuk modal kerja.

"Tapi insentif ini semuanya harus dikaitkan untuk pembelian bahan baku lokal agar manfaatnya lebih merata dan memperkuat integrasi hulu hilir sekaligus melakukan substitusi impor," terangnya.

Tekstil Perlu Digenjot Lebih Tinggi

Redma menambahkan bahwa industri manufaktur sebagai tulang punggung pertumbuhan dan sektor padat karya sebagai fungsi pemerataannya harus tumbuh lebih tinggi dibandingkan laju ekonomi nasional.

"Kalau target pertumbuhan ekonomi 5,4% sektor manufaktur harus 8,7%. Maka ini akan menjadi kontributor terhadap PDB-nya di atas 25%," pungkasnya. 

Dihubungi terpisah, Wakil Ketua Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) David Leonardi mengatakan, dengan target pertumbuhan ekonomi 5,4% tahun depan, maka industri tekstil dan produk tekstil (TPT) mesti tumbuh 6%-7%. 

"Saat ini, kontribusi industri TPT terhadap PDB [produk domestik bruto] nasional tercatat di kisaran 1,02%. Dengan target pertumbuhan ekonomi 5,4% tahun depan, sektor ini perlu tumbuh minimal 6–7% agar kontribusinya signifikan," kata David.

Menurut David, jika industri TPT hanya mampu tumbuh di bawah 5% maka dampak terhadap laju ekonomi nasional tidak akan signifikan. 

Adapun, pada kuartal II/2025, industri tekstil dan pakaian jadi tumbuh 4,35% yoy atau turun dari sebelumnya kuartal sebelumnya 4,64% yoy. 

"Namun, jika mampu didorong, industri TPT bukan hanya akan memperkuat ekspor nonmigas, tetapi juga menjadi penopang daya serap tenaga kerja yang saat ini mencapai sekitar 3 juta orang," tuturnya. 


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Bisnis Indonesia Premium.

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Bisnis Indonesia Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro