Bisnis.com, DENPASAR—Dinas Perindustrian dan Perdagangan (Disperindag) Provinsi Bali menilai mahalnya harga kain tenun tradisional karena tidak memiliki sumber bahan baku sehingga masih mendatangkannya dari luar negeri.
Ni Wayan Kusumawathi, Kepala Disperindag Bali, mengatakan mahalnya harga dikarenakan para penenun tidak memiliki sumber bahan baku tetap sehingga masih menggunakan kapas yang tumbuh di lingkungan tersebut.
“Ada dua jenis produksi antara lain dengan gunakan bahan baku sendiri menjadikan harganya mahal serta produk massal yang mendapatkan bahan baku penuh dari luar Bali seperti Cina dan India,” katanya, Selasa (20/8/2013).
Menurutnya, untuk kebutuhan yang bersifat seragam atau produk massal harus dijual murah dan terjangkau berbeda dengan penenun yang menggunakan bahan baku yang ada di lingkungan mereka. Selain itu, lanjutnya, seharusnya pemerintah daerah mempunyai perusahaan daerah yang bisa berperan sebagai pengepul bahan baku.
“Tujuannya untuk memotong mata rantai, sehingga perusahaan daerah bisa menjadi pengepul bahan baku dan menjualnya kepada masyarakat. Pengrajin pun bisa dilindungi dan merasa aman karena bahan baku di Bali susah.”
Sementara itu, AA Ngurah Mahendra, Dewan Penasehat Asosiasi Pertekstilan Indonesia Bali, menambahkan bahwa sebenarnya harga kain tenun relatif balik lagi kepada daya beli dan kemampuan harga untuk berkompetisi.
“Biasanya harga kain tenun yang mahal dibuat dengan alat tenun bukan mesin, biasa digunakan untuk kebutuhan upacara keagamaan atau untuk koleksi sedangkan untuk produk massal menggunakan alat tenun mesin harga pasti rekatif lebih rendah,” katanya.