Bisnis.com, JAKARTA--Kementerian Perumahan Rakyat yang kemudian berubah menjadi Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat beberapa bulan belakangan ini aktif mengampanyekan pembangunan rumah susun sederhana milik.
Alasannya masuk akal dan memiliki dasar, yakni mengantisipasi jumlah lahan yang semakin berkurang. Walaupun begitu, terdapat beberapa hal yang perlu digarisbawahi bahwa tujuan tersebut butuh persiapan dan perhitungan. Karena apa yang diniatkan tak semudah membalik telapak tangan.
Berbagai catatan muncul, karena pada dasarnya mengalihkan pembangunan rumah tapak ke rusun bukanlah pekerjaan ringan, yang lalu dipikir bisa dilakukan sekejap mata. Bukan hanya urusan lahan, ada perubahan kebudayaan, sosial-ekonomi, dan dari sisi konstruksi pengembangan juga lebih rumit.
Ketua Umum Asosiasi Pengembang Perumahan dan Permukiman Seluruh Indonesia Eddy Ganefo (munas Pontianak) menyebutkan walaupun mudah diungkapkan, pelaksanaan pembangunan rusun merupakan hal yang sulit.
Untuk bidang tanah yang sama di Bekasi, misalnya, membutuhkan biaya konstruksi berbeda jika dikembangkan untuk rusun. Walaupun jumlah unit rusun yang dikembangkan bisa berkali-kali lipat dibanding jika hanya dibangun rumah tapak, biaya konstruksi yang dikeluarkan juga melonjak.
Eddy memperkirakan jika harga jual rumah tapak sederhana di Bekasi sekitar Rp110 jutaan, harga unit rusun dengan tipe yang serupa diperkirakan mencapai hampir Rp300 jutaan. Banyak hal yang membuat harga jual menjadi tiga kali lipat lebih tinggi dari rumah tapak.
"Konstruksi bangunan tinggi itu yang membuat mahal. Kalau dibangun dengan komponen yang sama dengan rumah tapak, roboh itu nanti. Pemakaian semen yang berbeda, belum lagi beton, tiang, dll. Walaupun harga tanahnya sama, biaya konstruksinya bisa tiga kali lipat lebih mahal," ujarnya.
Selain itu, pengembang juga harus memperhatikan sistem jaringan listrik dan air. Teknologi yang digunakan untuk bangunan tinggi membuat ongkos yang disiapkan juga menjadi lebih tinggi.
"Pengembangan rumah tapak dengan rusun itu berbeda jauh. Kalau sudah dibangun lebih dari dua lantai, konstruksi yang digunakan sudah berbeda. Sudah lain. Bukan hanya urusan konstruksi saja, masih banyak hal yang harus dipikirkan," tuturnya.
Harga jual yang jauh lebih tinggi tersebut tentu memberikan dampak lain kepada masyarakat. Eddy mengkhawatirkan apakah benar masyarakat berpenghasilan rendah mampu membayar hunian dengan harga seperti itu. Jika memang ditujukan bagi kelas MBR, pemerintah harus mempersiapkan subsidi lain agar hunian tersebut bisa dijangkau oleh mereka.
"Ada juga urusan kultur. Apa masyarakat bisa menerima untuk hidup di hunian vertikal saat ini," katanya.
Di sisi lain, skim pembiayaan untuk rusun juga belum sepenuhnya mudah. Jika aturan pembebasan pajak pertambahan nilai 10% sudah dilegalkan untuk pembayaran rumah tapak bersubsidi, berlaku berbeda untuk rusun. Hingga saat ini pemerintah masih galau untuk melegalkan pembebasan pajak tersebut.
Di satu sisi, jika tetap diberlakukan, keberadaan pajak akan memberatkan masyarakat dalam memiliki rumah. Tapi di sisi lain, apakah benar subsidi pembebasan pajak tersebut benar-benar diberikan pada kelompok masyarakat yang paling membutuhkan.
Awalnya, Menteri PU-Pera Basuki Hadimuljono menyetujui untuk segera diberikan pembebasan PPN 10% untuk rusun sederhana. Katanya, pemerintah harus menghilangkan biaya-biaya yang dapat memberatkan masyarakat bawah.
Namun, ketika dia mengetahui harga rusun mencapai Rp300 jutaan, dengan batas penghasilan maksimal pembeli Rp7 juta/bulan, Menteri menjadi bingung. Menurutnya, penghasilan MBR seperti yang sudah diatur adalah Rp3,5 juta/bulan, bukan Rp7 juta/bulan. Tanpa memberikan kepastian, Basuki mengakhiri wawancara.
Kesulitan tersebut tidak hanya dirasakan oleh pengembang sebagai pihak yang melakukan pembangunan. Masyarakat sendiri yang menjadi sasaran sepertinya belum tentu bisa langsung menerima perubahan yang ada.
Sebelum menjabat Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, Andrinof Chaniago mengatakan secara rata-rata sekitar 70% masyarakat di perkotaan pada dasarnya tidak mau tinggal di hunian vertikal. Khusus untuk masyarakat menengah ke bawah, bisa mencapai hampir 90%.
“Sosialisasi terkait tentang itu belum ada saat ini. Harusnya pemerintah selain memastikan ketersediaan pasokan, juga melakukan kampanye agar masyarakat mulai terbiasa hidup di rusun. Ini perlu dilakukan,” kata Pengamat kebijakan publik dari Universitas Indonesia itu.
Pencitraan rusun bagi masyarakat kelas menengah bawah identik dengan hal negatif, seperti tempat kehidupan bagi orang miskin, atau lokasi yang jauh dengan infrastruktur yang kurang memadai.
Walaupun jumlah pasokan sudah mulai tumbuh, sambungnya, pada dasarnya kebutuhan untuk itu masih sangat besar. Dengan kondisi harga tanah yang semakin tinggi, solusi untuk memiliki hunian yang layak bagi masyarakat pada kelas tersebut adalah melalui rusun.
Ketua Umum Asosiasi Penghuni Rumah Susun Seluruh Indonesia Ibnu Tadji menambahkan sebagian besar masyarakat menengah ke bawah bisa dikatakan belum mengenal budaya tinggal di rusun secara memadai. Terlebih lagi, banyak pola hidup di rusun yang berbeda jauh dengan apa yang dirasakan di rumah tapak.
“Bagi mereka dibutuhkan sosialisasi yang lebih komprehensif dan intens. Karena sumber daya pemerintah terbatas, seharusnya dapat dilibatkan lembaga swadaya atau stakeholder terkait,” ujarnya.
Untuk mencapai titik itu, pemerintah harus berpikir lebih keras. Butuh langkah-langkah nyata agar hal tersebut benar-benar bisa direalisasikan. Masih banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan.
Pemerintah bersemangat memulai pengembangan rumah susun sebagai langkah maju dalam upaya mengatasi keterbatasan lahan. Tak begitu dengan pengembang.
Sulitnya Membudayakan Rusunami
Kementerian Perumahan Rakyat yang kemudian berubah menjadi Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat beberapa bulan belakangan ini aktif mengampanyekan pembangunan rumah susun sederhana milik.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel
Topik
Konten Premium