Bisnis.com, JAKARTA — Pemanfaatan Saldo Anggaran Lebih atau SAL sebesar Rp85,6 triliun untuk pembiayaan defisit APBN 2025 yang melebar dinilai memiliki dampak negatif jangka panjang. Meski demikian, langkah itu juga dinilai strategis untuk keberlanjutan fiskal jangka pendek.
Kepala Pusat Makroekonomi dan Keuangan Institute for Development of Economics and Finance (Indef) M. Rizal Taufikurahman menilai bahwa penggunaan SAL menjadi pilihan pragmatis untuk menghindari tambahan utang melalui penerbitan Surat Berharga Negara (SBN), terutama di tengah tekanan defisit fiskal yang melebar serta penurunan penerimaan pajak pada awal tahun
“Dalam kondisi volatilitas pasar global dan tingginya cost of fund [beban bunga dana], pemanfaatan SAL ini memang dapat menahan tekanan yield obligasi dan menjaga kredibilitas fiskal dalam jangka pendek,” ujar Rizal kepada Bisnis, Kamis (3/7/2025).
Meskipun efektif secara jangka pendek, Rizal menekankan bahwa penggunaan SAL tidak bisa terus-menerus dijadikan katup pengaman untuk menutup defisit fiskal. Data Kementerian Keuangan menunjukkan sebagian besar SAL berasal dari Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran (SiLPA) kementerian/lembaga yang mencerminkan lemahnya penyerapan anggaran, bukan efisiensi belanja.
“Jika akumulasi SAL ini mayoritas berasal dari belanja modal atau belanja produktif yang tertunda, maka pemanfaatannya justru berisiko menunda multiplier effect yang sangat dibutuhkan dalam mendorong pemulihan ekonomi nasional,” jelasnya.
Oleh sebab itu, dia mengingatkan pemerintah agar pemanfaatan SAL dibarengi dengan upaya perbaikan struktural yang konkret. Seharusnya, sambung Rizal, fokus utama pemerintah bukan sekadar menutup defisit melainkan perbaikan kualitas perencanaan dan efektivitas belanja negara.
Baca Juga
Pengajar di Universitas Trilogi Jakarta ini juga mendorong pemerintah untuk tetap fokus pada reformasi penerimaan negara dan perbaikan desain belanja agar APBN lebih sehat, produktif, dan berkelanjutan
“Transparansi penggunaan SAL, penguatan tata kelola fiskal, serta evaluasi program kementerian/lembaga yang selama ini menciptakan SiLPA struktural perlu menjadi syarat utama. Jangan sampai SAL menjadi preseden buruk yang justru melemahkan agenda konsolidasi fiskal,” tutupnya.
Sementara itu, Ekonom Makroekonomi dan Pasar Keuangan LPEM FEB UI Teuku Riefky menilai penggunaan SAL bisa menjadi opsi yang bijak di tengah kondisi pasar keuangan global yang penuh ketidakpastian.
Dia melihat pemanfaatan SAL justru bisa menjadi solusi di tengah tingginya biaya pendanaan (cost of fund) akibat kenaikan imbal hasil (yield) di pasar obligasi global.
“Penerbitan utang baru memang agak mahal sekarang, karena yield sedang tinggi. Sementara SAL itu bisa digunakan at no cost, jadi ini opsi yang baik,” kata Riefky kepada Bisnis, Kamis (3/7/2025).
Di samping itu, Riefky mengingatkan pemerintah tetap perlu berhati-hati dalam menentukan besaran penggunaan SAL. Pasalnya, pemerintah juga perlu menjaga likuiditas kas negara secara berkelanjutan atau jangka panjang.
“Pemerintah tetap harus menjaga cash flow agar tidak terjadi masalah likuiditas di kemudian hari,” tuturnya.
DPR Setujui Penggunaan SAL
Adapun, Badan Anggaran (Banggar) DPR menyetujui rencana pemerintah untuk memanfaatkan SAL senilai Rp85,6 triliun pada 2025. Persetujuan ini diberikan sebagai bagian dari strategi pembiayaan APBN 2025 yang dihadapkan pada pelebaran defisit fiskal.
Wakil Ketua Badan Anggaran DPR Wihadi Wiyanto menyampaikan bahwa pemanfaatan SAL tersebut akan digunakan untuk mengurangi penerbitan Surat Berharga Negara (SBN), memenuhi kewajiban pemerintah, serta menutup belanja prioritas dan defisit anggaran.
“Sampai dengan akhir 2025, realisasi pembiayaan anggaran diperkirakan mencapai Rp662 triliun. Di dalamnya termasuk pemanfaatan SAL sebesar Rp85,6 triliun,” ujar Wihadi dalam rapat pembacaan hasil pembahasan Outlook APBN 2025 di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta Pusat, Kamis (3/7/20245).
Berdasarkan kesepakatan DPR dan pemerintah, defisit APBN 2025 hingga akhir tahun ditetapkan mencapai Rp662 triliun atau sekitar 2,78% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB). Outlook itu lebih tinggi dari target defisit anggaran yang sudah ditetapkan dalam UU APBN 2025 yaitu sebesar Rp616,2 triliun atau setara 2,53% dari PDB.
Sementara itu, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyampaikan terima kasih atas persetujuan pelebaran defisit APBN 2025 anggaran menjadi 2,78% dari PDB, termasuk penggunaan SAL dalam mendanai pelebaran defisit tersebut.
"Ini diharapkan dapat menjadi pendukung dari berbagai program-program pemerintah dan sekaligus melakukan counter cyclical terhadap ekonomi yang mendapatkan tekanan dari perekonomian global," ujar Sri Mulyani pada kesempatan yang sama.
Usai rapat, bendahara negara itu belum bisa memastikan apakah SAL sebesar Rp85,6 triliun yang telah disetujui pemanfaatannya akan digunakan semua. Dia hanya menekankan bahwa penggunaan SAL akan tergantung dari realisasi defisit.
"Tergantung dari defisitnya yang akan terjadi, tapi paling tidak sudah mendapat persetujuan sehingga kita bisa punya pilihan nanti ya," ungkap Sri Mulyani.