Bisnis.com, JAKARTA—Pemerintah mengatakan tantangan pembangunan infrastruktur Indonesia saat ini adalah kurangnya jumlah insinyur dan tenaga ahli konstruksi.
Kepala Badan Pembinaan Konstruksi Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Hediyanto Husaini mengatakan jumlah insinyur yang dimiliki Indonesia saat ini belum memadai bila dibandingkan dengan besarnya tawaran proyek nasional di bidang konstruksi.
“Lima tahun ke depan kita punya banyak proyek infrastruktur, tapi kalau tenaga ahlinya kurang bisa diambil orang luar [negri],” katanya Kamis (22/1/2015).
Husaini mengatakan, memasuki era MEA tantangan menjadi makin berat karena tenaga kerja konstruksi dalam negri mesti bersaing dengan tenaga kerja konstruksi negara-negara asean.
Menurut data Kementerian PUPR, ratio jumlah insinyur Indonesia masih tergolong sangat rendah. Indonesia memiliki 2.671 insinyur per 1 juta penduduk. Sementara itu, tingkat pertumbuhan jumlah insinyur pertahun adalah 164 orang per 1 juta penduduk.
Sementara itu, Malaysia yang jumlah penduduk dan luas wilayahnya lebih kecil dari Indonesia memiliki ratio jumlah insinyur 3.333 per 1 juta penduduk, dengan tingkat pertumbuhan pertahun 367 per 1 juta penduduk.
Indonesia akan terasa semakin jauh tertinggal bila dibandingkan dengan Korea yang memiliki 25.309 insinyur per 1 juta penduduk, dengan tingkat pertumbuhan per tahun 836 per 1 juta penduduk.
Husaini memastikan pemerintah akan melakukan berbagai upaya untuk memacu tingkat pertumbuhan insinyur tiap tahun. Selain itu, pemerintah juga akan meningkatkan upaya pembinaan dan sertifikasi tenaga ahli konstruksi dalam negri.
“Negara ini maju kalau ratio jumlah insinyurnya besar. Kalau jumlahnya kecil, yang bangun infrastruktur tidak ada, yang bangun negara tidak ada. Padahal kita negara besar,” katanya.
Untuk itu, menurutnya pemerintah akan menetapkan standar pendapatan seorang insinyur. Hal ini untuk mencegah besarnya jumlah insinyur yang justru beralih profesi karena pertimbangan tingginya resiko dan rendahnya tingkat pendapatan.