Bisnis.com, JAKARTA - Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No.1/2015 yang melarang penangkapan kepiting, lobster, serta rajungan pada ukuran tertentu dan dalam keadaan bertelur ditunda.
Pasalnya, lewat kebijakan itu pelaku usaha kepiting kini rugi hingga Rp1,87 triliun, sedangkan sektor budidaya kepiting sendiri masih belum memadai.
Sekretaris Jenderal Asosiasi Pelaku Usaha Kepiting dan Rajungan Indonesia (APKRI) Jafar Ngabalin mengatakan Permen ini memang baik untuk jangka panjang dalam menjaga sumber daya ikan.
Namun, pihaknya menyayangkan pemerintah mengeluarkan kebijakan ini tanpa mempertimbangkan kondisi objektif di lapangan.
"Ditunda, waktu kurang lebih satu tahun baru Permen ini bisa dilaksanakan. Ada upaya untuk budidaya, tapi tidak semua pelaku usaha punya tambak untuk budidaya ini," ujarnya kepada Bisnis.com, Selasa (17/3/2015).
Waktu 1 tahun ini, lanjutnya, digunakan oleh para pelaku usaha untuk menyiapkan kebutuhan budidaya kepiting sebagai langkah alternatif mengatasi pelarangan tangkap ini.
Dia menambahkan saat ini saja pusat pembenihan kepiting masih terbatas. Dari produksi pusat pembenihan di Indonesia, produksi benih kepiting hanya sebesar 50.000 ekor dengan tingkat kematian 70%.
Dengan kata lain, produksi benih yang bertahan hidup hanya sekitar 30.000 ekor benih dan hanya bisa menghasilkan 300 kg kepiting. "Ini jauh sekali dengan yang disediakan di alam. Kalau mau ke budidaya, tingkatkan dulu benihnya. Ini butuh waktu," katanya.
Pelarangan tangkap dan jual kepiting dituangkan lewat Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No.1/2015 yang keluar pada awal Januari lalu.
Selain kepiting di bawah ukuran lebar karapas 15 cm atau setara dengan 350 gram 450 gram, Permen ini juga melarang penangkapan lobster di bawah panjang karapas 8 cm atau setara dengan 300 gram 400 gram dan rajungan untuk lebar karapas di bawah 10 cm atau setara dengan 55 gram 80 gram.
Selain dalam ukuran-ukuran tersebut, Permen ini juga melarang menangkap kepiting, lobster, dan rajungan dalam keadaan bertelur. []