Bisnis.com, KUALALUMPUR – Pemerintah mengakui tidak memiliki banyak pilihan untuk bergabung dalam Kemitraan Trans Pasifik atau Trans Pacific Partnership (TPP).
Menteri Perdagangan Thomas T. Lembong mengakui bahwa TPP merupakan kesepakatan yang sangat ambisius. Setiap anggotanya harus melakukan reformasi perekonomiannya secara menyeluruh dan meningkatkan praktik-praktik yang modern.
Namun, tujuan akhir dari kerja sama perdagangan seperti TPP menurutnya adalah akses pasar. Dengan melakukan reformasi diri, Indonesia juga akan mendapat akses pasar negara anggota TPP. Sementara itu, tidak bergabung dalam TPP dinilai mempunyai konsekuensi yang cukup tinggi.
“Veitnam sudah punya trade agreement dengan Eropa, dan mereka sudah ada di TPP. Sudah banyak cerita, orang tutup pabriknya pindah ke Vietnam. Mereka punya akses pasar ke Amerika [AS] dan Eropa,” kata Thomas di sela-sela Konferensi Tingkat Tinggi ASEAN ke 27 di Kuala Lumpur, Sabtu (21/11/2015).
Berdasarkan data Kementerian Perdagangan, dalam lima tahun terakhir (2010 – 2014) Indonesia selalu mencatatkan surplus neraca perdagangan dengan Amerika Serikat antara US$3,27 miliar – US$8,59 miliar setiap tahunnya. Sementara pada periode Januari – Oktober 2015, Amerika Serikat menjadi negara tujuan ekspor kedua terbesar bagi Indonesia setelah Jepang.
Thomas mengatakan, jika tidak memiliki akses pasar yang sama dengan Vietnam, maka tidak lama lagi Indonesia akan kalah tarif antara 10%-14%. Sementara kebanyakan profit margin perusahaan di Indonesia hanya berkisar antara 7%-8%. Dengan demikian Indonesia diyakini akan semakin sulit bersaing.
“Itu suatu kenyataan yang ada. Terus terang kita tidak punya banyak pilihan. Kita membereskan peraturan, regulasi, memodernisasi diri, atau kita akan ditinggalkan.”
Kendati demikian, menurut Thomas tanpa ‘iming-iming’ akses pasar pun, seharusnya mau untuk bergabung dengan TPP. Karena reformasi-reformasi ekonomi yang diminta dalam TPP memang diperlukan untuk memperbaiki, membenahi, dan meng-upgrade diri.